PRODUKSI KAKAO INDONESIA KIAN
BERMASALAH
Para
petani kakao di wilayah Palu, belum bisa
menikmati hasil panen walaupun nilai tukar Dollar AS sudah menguat sejak
setahun terakhir. Usia tanaman yang sudah tua, biaya produksi yang semakin
mahal, serangan hama penyakit, adanya perubahan serta harga jual yang merosot
merupakan penyebab lahan kakao mengalami penurunan produksi. Oleh karena itu,
banyak pelaku di sector perkebunan malas untuk mengurus dan mengembangkan kebun
kakao.
Petani di
daerah Toraja bahkan menelantarkan lahan
kakao padahal sebagian daerahnya merupakan penghasil komoditas perkebunan di
Sulsel. Kompas memantau pecan lalu, tanaman kakao tersebut dibiarkan meranggas
dan ditumbuhi ilalang bahkan sebagian kakao dibiarkan mengering dan membusuk di
pohon.
“Buat apa
dipanen kalau tidak ada harga. Sudah beberapa tahun harga kakao tidak pernah
bagus. Harga bergitu-begitu saja, bahkan terus turun. Saya mengganti tanaman
kakao dengan tanaman rumout. Masih ada harganya dan dicari ketimbang kakao”
tutur Aris Sampelalu(45), petani kakao di Lembong Soluara, Kecamatan Sesean
Soluara, Toraja Utara.
Menurut
Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Sulsel Andi Suulaiman Loeloe ,
walaupun harga jual biji kakao meningkat hampir 30% akibat kuatnya nilai dollar
AS, namun tetap saja ada kenaikan biaya produksi seperti harga pupuk dan
pembasmi hama sehingga tidak berpengaruh terhadap pendapatan petani. Saat ini
petani kakao hanya bisa menikmati pendapatan bersih rata-rata Rp 12,8 juta per
tahun, dimana jumlah itu masih setengah dari upah minimum provinsi Sulsel tahun
2015.
Panggah
Susanto selaku Direktur Jenderal Industri Agro Kementrian Perindustrian
mengatakan bahwa hirilisasi industry merupakan tindakan awal pemerintah demi
meningkatkan nilai tambah kakao . Menurut Panggah, melalui hilirisasi ini, biji
kakao akan mengalami beberapa proses tahapan yaitu difermentasi lalu diolah
menjadi cocoa powder atau liquour serta cacao butter yang akan menjadi bahan
baku di industry pengolahan.
Kendala
yang dihadapi saat ini justru adalah kurangnya bahan baku bagi industri
pengolahan dan banyaknya pembeli kakao tunggal, yakni dari kalangan industri
yang jumlahnya hanya beberapa perusahaan sehingga mereka bisa mengatur harga di
tingkat petani. Adanya pajak ekspor dan PPN 10 persen ikut memicu harga kakao
di tingkat petani rendah, karena petani juga yang menanggung beban pajak.
Natasha Adriana/
1305001343 (TTN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar