Kutukan Terindah bagi Si Tukang Ojek
Semilir
hembusan angin di pagi hari. Suara mesin motor serta gesekan antara ban dan
aspal mulai memecah keheningan. Seorang insan yang lahir dengan
ketidaksempurnaan melaju cepat dengan motornya untuk mencari sebutir nasi. Tawa,
ejekan kadang membuat hati tercabik ingin meronta, tetapi wajah membalas dengan
sebuah senyuman.
“Itulah hidup saya selama ini,” tutur Pak Hassan, pria yang memiliki badan yang cacat namun telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya menjadi tukang ojek.
Oleh Cheryl
Antoinette
Sulaiman Hassanudin, akrab disapa Hassan. Pria kelahiran Jakarta, 18
September 1964 ini adalah seorang pria yang telahir tidak sempurna. Ia memiliki
tubuh yang sangat pendek, dengan tulang punggung yang amat menonjol. Walau ia
terlahir cacat, tidak pernah terlintas rasa minder dalam benaknya.
Sampai sekarang Hassan
tidak pernah melupakan apa yang dikatakan oleh Almh. Fatimah yang adalah
ibunya. Sejak kecil ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada untuknya.
“Ibu saya pernah pesan sama saya, biarpun
saya begini, saya tetap harus kerja yang
giat dan cari uang,” kenang Hassan.
Sebelum ayam berkokok ayah
dari 1 orang anak ini, sudah pergi dari rumah mungilnya untuk mencari
penumpang. “Saya sudah berangkat dari jam 4 pagi, kalau pagi cuma saya yang ada
di pangkalan. Ya buat nganterin orang-orang
yang mau berangkat kerja,” ucap Hassan.
Penghasilan pria berwajah
keriput, rambut yang mulai beruban, dan tubuh yang ringkih ini terbilang sangat
kecil, namun Hassan tetap saja mengatakan bahwa hal itu adalah anugrah baginya.
“Penghasilan mah sehari 30 ribu, buat
bensin 10 ribu. Paling sisa 20 ribu,
buat dapur aja kurang. Apalagi ditambah ada gojek, saingan menjadi semakin
berat, tau dah pusing,” katanya.
Semua tetes keringatnya,
hanya dilakukan untuk menghidupi dirinya dan anaknya, Amel. Sejak sang istri
meninggal, ia rela untuk selalu menabung
selama hidupnya demi putri kesayangannya. “Hassan selama ini adalah ayah yang
hebat. Demi Amel, ia rela untuk menghabiskan hampir semua uangnya untuk
membiayainya sekolah di Malaysia,” cerita Nuraidah, kakak Hassan.
Menurut Hassan walau mendapat
cemooh dari banyak orang, apa yang ia alami biarkan menjadi kutukan terindah
yang pernah ada dalam dirinya. Ia juga tidak pernah berhenti untuk bersyukur
pada Allah atas apa yang terjadi dalam hidupnya. “Kutukan terindah karena saya
bisa lebih daripada orang-orang, saya juga bisa mengkuliahkan anak saya dan
saya memiliki lebih banyak dukungan dari keluarga untuk bisa kuat hidup di
dunia,” ujarnya dengan terbata-bata.
Kehidupan Hassan bila
diamati sama sekali jauh dari sempurna. Namun, hati yang ikhlas membuat dirinya
melihat hidup sebagai sebuah kesempurnaan. Kutukan yang terindah adalah hidup
yang ia jalani. Keluhan tak pernah keluar dari mulutnya. Lantas layakkah kita
mengeluh atas kehidupan ini?
Cheryl Antoinette (TuA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar