6 September 2015

Semangat Tak Pudar Taklukkan Ular

Rintik hujan tidak menghalangi langkah ratusan pejalan kaki. Gelapnya malam dibuyarkan oleh sinar lampu yang terpasang di warung-warung. Deretan warung tersebut menghiasi pinggir jalan di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat. Tulisan “Warung Sate Ular” nampak terpampang di mana-mana.
Di salah satu warung, ular sanca bernilai 500 ribu rupiah per ekornya. Harga sepertinya tidak terlalu menjadi masalah, asalkan perut kenyang dan hati senang karena sudah pernah mencicipi daging ular.
Sementara itu, walaupun taruhannya nyawa, seorang pemburu ular pemasok bahan pokok sate tersebut harus puas hanya dengan upah 40 ribu per ular yang mereka tangkap.

Kantong mata, keriput, uban, semuanya menunjukkan usia Usman yang tak muda lagi. Akan tetapi, api dalam matanya masih menyala dan selera humornya masih tersirat ketika ia menceritakan pengalamannya berburu ular.
Usman memulai pekerjaannya mencari ular pada tahun 1975, saat ia baru saja menikah dan belum memiliki pekerjaan. Suatu siang, ia memutuskan untuk pergi ke kuburan, berniat mencari ular untuk dijual. Berjam-jam ia berkeliling, tapi hasilnya nihil. Ketika ia duduk melepas letih, lewatlah seekor ular kobra di hadapannya. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa termangu bagaikan melihat siluman, baru kemudian memutuskan untuk menangkap ular tersebut.
“Saya diem dulu, lalu saya tanya dia ular beneran atau jadi-jadian. Eh dia kagak jawab, ya udah saya deketin, saya pegang kepalanya, saya elus-elus dulu bawahnya, abis itu saya masukin karung,” kenang Usman sambil tersenyum.
Selama berpuluh-puluh tahun bekerja sebagai pemburu ular, ayah dua anak ini telah menangkap banyak ular, seperti ular kobra, sanca, piton, beludak, dan lain-lain. Beberapa di antaranya bahkan merupakan ular raksasa.
“Waktu itu saya pernah dapet ular piton di Lampung, panjang banget, diameternya kayak batang kayu. Waduh...itu karung beras 50 kilo kagak muat, dikirain orang mah saya abis bunuh orang, masukin ke karung,” gurau Usman seraya membetulkan posisi kopiah hitamnya.
Biasanya, orang-orang yang mampu menangkap ular raksasa memiliki ilmu khusus, bahkan terkadang gaib, yang membuat ular tunduk dan tidak akan menggigit mereka. Namun,  Usman mengaku bahwa ia tidak membutuhkan ilmu-ilmu seperti itu.
“Kalau punya (batu) mustika yang ada isinya (makhluk gaib), ular pasti bakalan nurut, kagak ngegigit. Saya mah gak main lah gituan, yang penting berani dan banyak doa aja,” ujar Usman lirih.
Usman pernah beberapa kali tergigit ular, bahkan terkena racunnya. Namun, kematian memang belum mau menyapanya. Nyawa Usman tidak terenggut, hanya daging tangannya saja yang sempat busuk selama beberapa bulan.
“Ibu saya suruh ke dokter, saya ogah, palingan dokter ngasih suntik kebal doang. Akhirnya saya belek tangan saya pake silet, saya sedot racunnya pake sedotan sampe keluar semua, abis itu saya bakar bekas siletannya,” cerita Usman sambil menunjukkan bekas luka di tangannya yang masih berotot walaupun kulitnya sudah mengendur.
Meskipun banyak resiko dalam pekerjaannya, bahkan nyawanya pun menjadi taruhan, Usman tidak mendapatkan upah yang layak untuk menghidupi keluarganya. Satu ekor ular yang panjangnya bermeter-meter hanya dihargai 40 ribu rupiah. Padahal, jika telah diolah menjadi sate oleh rumah makan, harganya bisa berlipat ganda.
“Biasanya saya jual ke warung-warung atau rumah makan di Mangga Besar. Kadang, saya jual ke agennya juga di Kebayoran Lama. Tapi saya gak setiap hari (menjual ular hasil tangkapan), sih. Seadanya aja, kalau lagi gak nemu (ular) ya gak ada yang saya jual,” Usman menerangkan sambil meminta istrinya menyediakan kopi.
Suatu hari ketika sedang mengantarkan ular-ular tangkapannya, Usman diam-diam masuk ke dalam dapur rumah makan tersebut dan mengintip cara membuat minyak ular yang konon berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit kulit.
“Karena saya bisa bikin (minyak ular), akhirnya banyak tetangga yang suka minta bikinin. Saya gak enak nolaknya, jadi saya bikinin tuh minyak uler, saya juga yang olesin. Mending kalo dibayar, “ keluh Usman sambil menegak kopi dari gelas kaleng.
Karena kecintaannya terhadap ular, Usman memberi nama anak-anak dan cucunya Kobra Satu, Kobra Dua, dan Kobra Tiga.
“Dulu tuh saya suka malu kalo ada temen main ke rumah, bilangnya mau nyari Kobra. Terus ibu malah nanya balik, Kobra yang mana? Kobra Satu, Dua, atau Tiga?” kenang Kobra Satu,  yang kemudian tertawa kecil mengingat hal tersebut.
Seluruh anggota keluarga Usman tidak ada yang pernah mencoba rasa daging ular, karena ular lah yang menjadi sumber pendapatan di keluarga mereka.
“Kita bisa makan karena uler, ya kita gak boleh makan uler” tegas Kobra Satu diiringi anggukan kepala ayahnya.
Karena resiko pekerjaannya terlalu besar, Usman sudah tidak lagi bekerja sebagai pencari ular. Saat ini, bekerja sebagai kuli bangunan di dekat rumahnya di Bambu Larangan, Cengkareng, Jakarta Barat. Kadang jika ada ular yang masuk ke perumahan dekat tempat kediamannya, ia dimintai tolong untuk membantu menangkap ular itu.
Ketika ditanya apakah beliau juga tertarik membuka usaha kuliner sate ular, Usman menjawab dengan singkat, “Enggak lah, saya gak tega.”


Berburu kuliner ekstrem memang menjadi kegiatan yang cukup seru sekaligus menyenangkan. Akan tetapi, berburu bahan pokok untuk kuliner tersebut tidaklah sama menyenangkannya.

Pak Usman dan penulis


Shella Gunawan
1305003497

Tidak ada komentar:

Posting Komentar