Rintik
hujan tidak menghalangi langkah ratusan pejalan kaki. Gelapnya malam dibuyarkan
oleh sinar lampu yang terpasang di warung-warung. Deretan warung tersebut
menghiasi pinggir jalan di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat. Tulisan “Warung
Sate Ular” nampak terpampang di mana-mana.
Di
salah satu warung, ular sanca bernilai 500 ribu rupiah per ekornya. Harga
sepertinya tidak terlalu menjadi masalah, asalkan perut kenyang dan hati senang
karena sudah pernah mencicipi daging ular.
Sementara
itu, walaupun taruhannya nyawa, seorang pemburu ular pemasok bahan pokok sate
tersebut harus puas hanya dengan upah 40 ribu per ular yang mereka tangkap.
Kantong mata, keriput,
uban, semuanya menunjukkan usia Usman yang tak muda lagi. Akan tetapi, api
dalam matanya masih menyala dan selera humornya masih tersirat ketika ia menceritakan
pengalamannya berburu ular.
Usman memulai
pekerjaannya mencari ular pada tahun 1975, saat ia baru saja menikah dan belum
memiliki pekerjaan. Suatu siang, ia memutuskan untuk pergi ke kuburan, berniat
mencari ular untuk dijual. Berjam-jam ia berkeliling, tapi hasilnya nihil.
Ketika ia duduk melepas letih, lewatlah seekor ular kobra di hadapannya. Untuk
beberapa saat, ia hanya bisa termangu bagaikan melihat siluman, baru kemudian
memutuskan untuk menangkap ular tersebut.
“Saya diem dulu, lalu saya tanya dia ular
beneran atau jadi-jadian. Eh dia kagak
jawab, ya udah saya deketin, saya pegang kepalanya, saya
elus-elus dulu bawahnya, abis itu
saya masukin karung,” kenang Usman
sambil tersenyum.
Selama berpuluh-puluh
tahun bekerja sebagai pemburu ular, ayah dua anak ini telah menangkap banyak
ular, seperti ular kobra, sanca, piton, beludak, dan lain-lain. Beberapa di
antaranya bahkan merupakan ular raksasa.
“Waktu itu saya pernah dapet ular piton di Lampung, panjang banget, diameternya kayak batang kayu. Waduh...itu
karung beras 50 kilo kagak muat, dikirain orang mah saya abis bunuh orang, masukin
ke karung,” gurau Usman seraya membetulkan posisi kopiah hitamnya.
Biasanya, orang-orang
yang mampu menangkap ular raksasa memiliki ilmu khusus, bahkan terkadang gaib,
yang membuat ular tunduk dan tidak akan menggigit mereka. Namun, Usman mengaku bahwa ia tidak membutuhkan
ilmu-ilmu seperti itu.
“Kalau punya (batu)
mustika yang ada isinya (makhluk gaib), ular pasti bakalan nurut, kagak ngegigit. Saya mah gak main lah gituan, yang penting
berani dan banyak doa aja,” ujar
Usman lirih.
Usman pernah beberapa
kali tergigit ular, bahkan terkena racunnya. Namun, kematian memang belum mau menyapanya.
Nyawa Usman tidak terenggut, hanya daging tangannya saja yang sempat busuk
selama beberapa bulan.
“Ibu saya suruh ke
dokter, saya ogah, palingan dokter ngasih suntik kebal doang.
Akhirnya saya belek tangan saya pake
silet, saya sedot racunnya pake
sedotan sampe keluar semua, abis itu saya bakar bekas siletannya,”
cerita Usman sambil menunjukkan bekas luka di tangannya yang masih berotot
walaupun kulitnya sudah mengendur.
Meskipun banyak resiko
dalam pekerjaannya, bahkan nyawanya pun menjadi taruhan, Usman tidak
mendapatkan upah yang layak untuk menghidupi keluarganya. Satu ekor ular yang
panjangnya bermeter-meter hanya dihargai 40 ribu rupiah. Padahal, jika telah
diolah menjadi sate oleh rumah makan, harganya bisa berlipat ganda.
“Biasanya saya jual ke
warung-warung atau rumah makan di Mangga Besar. Kadang, saya jual ke agennya
juga di Kebayoran Lama. Tapi saya gak
setiap hari (menjual ular hasil tangkapan), sih.
Seadanya aja, kalau lagi gak nemu
(ular) ya gak ada yang saya jual,”
Usman menerangkan sambil meminta istrinya menyediakan kopi.
Suatu hari ketika sedang
mengantarkan ular-ular tangkapannya, Usman diam-diam masuk ke dalam dapur rumah
makan tersebut dan mengintip cara membuat minyak ular yang konon berkhasiat untuk
menyembuhkan penyakit kulit.
“Karena saya bisa bikin (minyak ular), akhirnya banyak
tetangga yang suka minta bikinin.
Saya gak enak nolaknya, jadi saya bikinin
tuh minyak uler, saya juga yang olesin.
Mending kalo dibayar, “ keluh Usman
sambil menegak kopi dari gelas kaleng.
Karena kecintaannya
terhadap ular, Usman memberi nama anak-anak dan cucunya Kobra Satu, Kobra Dua,
dan Kobra Tiga.
“Dulu tuh saya suka malu kalo ada temen main ke rumah, bilangnya mau nyari Kobra. Terus ibu malah nanya balik, Kobra yang mana? Kobra Satu, Dua, atau Tiga?” kenang
Kobra Satu, yang kemudian tertawa kecil
mengingat hal tersebut.
Seluruh anggota keluarga
Usman tidak ada yang pernah mencoba rasa daging ular, karena ular lah yang
menjadi sumber pendapatan di keluarga mereka.
“Kita bisa makan karena uler, ya kita gak boleh makan uler”
tegas Kobra Satu diiringi anggukan kepala ayahnya.
Karena resiko pekerjaannya
terlalu besar, Usman sudah tidak lagi bekerja sebagai pencari ular. Saat ini, bekerja
sebagai kuli bangunan di dekat rumahnya di Bambu Larangan, Cengkareng, Jakarta
Barat. Kadang jika ada ular yang masuk ke perumahan dekat tempat kediamannya,
ia dimintai tolong untuk membantu menangkap ular itu.
Ketika ditanya apakah
beliau juga tertarik membuka usaha kuliner sate ular, Usman menjawab dengan singkat,
“Enggak lah, saya gak tega.”
Berburu
kuliner ekstrem memang menjadi kegiatan yang cukup seru sekaligus menyenangkan.
Akan tetapi, berburu bahan pokok untuk kuliner tersebut tidaklah sama
menyenangkannya.
![]() |
Pak Usman dan penulis |
Shella Gunawan
1305003497
Tidak ada komentar:
Posting Komentar