20 September 2015

SIAPA BILANG KENDARAAN RODA 3 KETINGGALAN JAMAN?


Jessica Natasha Madradi
00000003840

 Matahari bersinar terik. Orang-orang sibuk berjalan ke sana kemari. “Trak tak tak tak tak…” suara mesin bemo nyaring melengking. Asap kendaraan dimana-mana. Debu jalanan tak bersahabat. “Terus… terus…” tukang parkir sibuk memberi arahan. Mobil berlalu-lalang di jalanan. Para penjual sibuk membuka lapak. Itulah keadaan yang terjadi di tengah marak dan sibuknya ibukota di daerah Bendungan Hillir atau yang biasa disebut Benhill, Minggu (5/4/2015).

“Sebenarnya saya tiap hari saya kerjanya membawa kendaraan roda tiga yang dikatakan bemo, itu untuk kehidupan hari-hari saya, keluarga saya, anak dan istri saya” Hairul (55). Kendaraan beroda tiga yang sudah lama tak terdengar namanya ini mungkin sudah terlupakan oleh banyak masyarakat setempat. Tetapi, jangan salah. Kendaraan yang dijuluki sebagai bemo ini masih sangat berperan penting bagi kita dan mereka pun membutuhkan kita untuk membantu mereka mencari sesuap nasi.
            Di mulai dari era tahun 1962 bemo ini sangat terkenal di Indonesia. Awal mulanya, truk kecil beroda tiga ini adalah inovasi dari pabrik terkenal Daihatsu, Jepang yang berfungsi untuk mengangkut barang. Yang dinamakan daihatsu Midget (kerdil) karena ukurannya yang cukup kecil, dan dipasarkan pada tahun 1957. Lalu, dieksporlah ke beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Tetapi, setelah masuk ke Indonesia, sebelumnya bemo dimaksudkan untuk mengganti keberadaan becak. Dan karena lajunya yang terbilang cepat, bemo sangat praktis serta dapat menjangkau jalan tikus yang ada di beberapa tempat di plosok Jakarta.
            Kendaraan unik beroda tiga berwarna biru ini mempunyai bentuk yang unik dan sudah dapat dikatakan sebagai kendaraan “Legend” Indonesia karena sudah menjadi Ikon angkutan Ibukota. Bemo dapat mengangkut kapasitas lebih dari 6 penumpang di dalamnya termasuk sang pengemudi. Dengan bangku kayu panjang berhadap-hadapan di bagian belakang, ditutupi bagian atasnya dengan semacam kain agar tidak terkena terik matahari. Lebar kabin penumpang tak lebih dari 60 centimeter. Panjangnya hampir satu meter. Plus empat jendela kecil berukuran 30×30 centimeter penyumbang gemuruh angin yang sepoi-sepoi.
            Dahulu, sistemnya kurang lebih seperti taksi. Keliling Jakarta dan yang menaikinya adalah perorangan, kalau seperti sekarang ibarat bajaj. Tetapi, sekitar tahun 1977, dinas perhubungan memberikan trayek (rute/jalan yang ditempuh) pada semua pengemudi bemo, trayek tersebut adalah Benhil-Tanah Abang, Manggarai-Pulo Gadung. Maka, pengemudi bemo tidak boleh lagi sembarangan keliling Jakarta seperti dulu.
            Bemo (Becak Motor) angkutan kota Jakarta ini memiliki pangkalan tersediri dan saat ini masih beroperasi di daerah Pasar Tanah Abang, Bendungan Hillir, Grogol, Karet, Pasar Baru serta Petamburan. Sistem biaya angkutan ini terbilang relatif terjangkau. Karena walaupun jarak yang ditempuh jauh atau pun dekat, biaya yang dikenakan semua dipukul rata. Per-orang hanya ditarik biaya seharga Rp 3,000 rupiah saja. Dan rata-rata setiap harinya ia dapat menarik 7 orang penumpang sekali jalan di kawasan benhil tersebut. Cukup terjangkau bukan? Hal ini terjadi karna mungkin target penumpang hanyalah masyarakat menengah kebawah karena tidak semua masyarakat itu memiliki gaji/pemasukkan yang besar. Jadi merekalah yang harus bisa menimang-nimang harga.
            Walaupun kita pikir sudah jarang peminatnya, setelah mendengar cerita dari seorang pengemudi bemo sekaligus ketua dan koordinator dari komunitas bemo di kawasan Benhil tersebut, Bapak Hairul. Ia sangat senang menjalani pekerjaan dan aktivitasnya sebagai pengemudi bemo hingga sekarang dan terus bertahan sekitar kurang lebih 35 tahun silam. Setiap hari ia bangun jam 6.30 pagi, berangkat dari Palmerah rumahnya ke pangkalan untuk bertugas menarik bemo hingga larut malam. ”Anak saya ada 7, dan Alhamdulillah semuanya bisa bersekolah dari menarik bemo yang saya lakoni ini” ujar bapak Hairul. Mungkin memang tidak ada pilihan lain selain menarik bemo karena usianya yang terpaut tua dan tidak punya bekal ijazah untuk melamar kerja. “Kalo udah tua gini masih banyak regenerasi yang mau kerja, biarkan yang muda yang kerja” ujarnya. Siapa sangka hanya dengan menarik bemo ia dapat menafkahi istri dan ke-tujuh anaknya hingga bersekolah dan menjadi penopang hidup keluarganya selama bertahun-tahun.
            Meski bemo ini dibilang sebagai kendaraan moyangnya angkot, onderdil dan perawatannya sangat mudah, onderdil dan sparepartnya bisa kita beli di Tanah Abang, Sebab itulah yang bisa bikin Bemo ini tetap awet muda. Dan ternyata, karena masih banyak juga beberapa kalangan yang berminat untuk memakai jasa bemo untuk bepergian. Mulai dari kalangan muda hingga tua (semua usia). Biasanya yang menaiki bemo ini adalah ibu rumah tangga, anak sekolah, orang perkantoran, mau pun pembantu di daerah warga benhil tersebut.
            Menarik bukan? Selain terjangkau, bemo ini juga aman karena penumpangnya tidak sendiri. Lumayan juga kan biar kantong tetap irit. Walaupun kendaraan ini sudah terbilang hamper punah dan terlupakan, apa salahnya kita sebagai warga Indonesia yang baik untuk terus melestarikan dan menghargai hal-hal seperti ini. Masih banyak pula orang yang tertarik dan menggunakan jasa bemo, daripada menggunakan kendaraan yang itu-itu saja dan memakan biaya lebih.
            Hingga puluhan tahun berlalu, Bapak Hairul, Bapak Silaen, serta rekan penarik bemo lainnya tetap terus berjuang mempertahankan keberadaan bemo yang hampir tersingkirkan di tengah ibukota demi sumber penghasilan mereka untuk keluarganya. Walaupun beroda tiga dan terbilang tua, bemo juga tidak ketinggalan jaman lho, masih kuat dan memiliki banyak peminatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar