![]() |
Penyajian sate monyet dengan bumbu kecap |
Life is Never Flat
Menurut
Charles Darwin, terbentuknya manusia adalah karena proses evolusi dari suatu
species tertentu. Species itu adalah kera atau monyet. Secara tidak langsung
Darwin menyamakan manusia dengan monyet. Bagaimana bila kita memakan daging
kita sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan itu pun, saya pergi ke daerah
Mangga Besar tepatnya ke rumah makan Istana Raja Kobra. Sesampainya disana saya
merasakan semacam keterkejutan dengan tempay tersebut. Memang pepatah yang
mengatakan “don’t judge a book by its
cover” memang benar. Saat pertama kali melihat restoran ini, hal pertama
yang terlintas dipikiran anda semua adalah tempat yang kotor, kumuh, dan sangat
tidak mengundang selera makan anda sama sekali. Apalagi berbagai bahan makanan
yang tidak lazim lah yang akan anda makan. Mungkin anda juga akan membayangkan
tempat penjagalan binatang-binatang.
Tetapi tempat tersebut, tidak seperti yang dibayangkan. Saat
memasuki ke dalam rumah makan tersebut, tempatnya seperti rumah makan pada
umumnya. Berlantai keramik putih, diterangi dengan lampu yang cukup terang,
adanya kipas angin yang tidak membuat ruangan menjadi pengap. Meja yang
disediakan untuk mengunjung pun tidak terlalu banyak, dan di pojok terdapat
meja kasir yang cukup besar yang terjdapat banyak ukiran berbentuk ular.
Dinding pun dihiasi dengan berbagai foto jadul, foto-foto dengan orang ternama
yang pernah makan disitu. Yang paling menarik adalah banyaknya lemari kaca di
dinding atas tempat makan tersebut. Lemari
kaca tersebut memamerkan tas, dompet, maupun ikat pinggang yang terbuat dari
kulit ular. Jangan tanyakan harganya, sudah pasti harganya selangit. Karena
penasaran saya pun bertanya kepada pemilik rumah makan tersebut. “Ya kalau ini
semua sih hasil usaha sendiri, kan kalau daging ular untuk dikonsumsi
untuk kulitnya kami manfaatkan untuk hasil karya seperti ini,” kata Erika (30).
Sebelum melanjutkan perbincangan, kami pun menentukan
makanan apa yang akan kami coba disini. Bermacam-macam binatang tersedia
disini, ada ular, biawak, monyet, kalong, buaya, dan bulus. Cara masaknya pun
bermacam-macam bisa di sate, disajikan menjadi sup, digoreng biasa maupun
menggunakan tepung, ada juga yang berupa minyak, atau sudah siap dimakan
langsung seperti abon. Akhirnya pilihan jatuh kepada ‘sate monyet’. Bumbu untuk
makanan tersebut pun, terdiri dari 2 macam. Bumbu itu adalah bumbu kacang atau
kecap. Pilihan akhirnya jatuh pada sate monyet dengan bumbu kecap. Ternyata
tempat penjagalan itupun tidak ada, sate daging monyet yang akan dibakar pun
sudah disiapkan ternyata. Tidak perlu ada pemotongan terlebih dahulu. Dapur
tergolong kecil, hanya seperti dapur rumahan biasa, bukan seperti dapur rumah
makan pada umumnya.
Makanan selalu didampingi oleh minuman, mereka sudah
bagaikan baju dan celana. Udara yang panas, membuat ingin meminum yang
dingin-dingin agar badan segar. Inginnya sih minum es teh atau
semacamnya.”Disini teh dan kopi kosong,” ucap salah satu pelayan di rumah makan
ini yang juga merupakan keponakan dari Erika. Hal itu terasa aneh, karena
minuman yang disediakan pun hanya air mineral kemasan. Ternyata di dekat dapur,
terdapat papan kecil yang bertuliskan “setelah meminum ramuan empedu ular,
tidak boleh meminum kopi dan teh selama 3-4 jam”. Mengapa? “Karena kopi dan teh
itu bisa menjadi penetral, nanti ujung-ujungnya ramuan empedu ular itu jadi gak efektif,” jelas keponakan dari
Erika.
Sambil menunggu pesanan, akhrinya saya memutuskan
melakukan perbincangan dengan sang pemilik. Ternyata rumah makan ini sudah ada
sejak 30 tahun yang lalu. “Awalnya dulu buka di Surabaya, di daerah Karang
Menjangan akhirnya tutup baru pindah ke Jakarta ini,” ucap Erika. 10 tahun rumah
makan ini berada di Surabaya, jika ditotal rumah makan ini sudah ada sejak 40
tahun yang lalu. Rumah makan ini pun diwariskan secara turun-temurun. Pada saat
ini dipegang oleh Erika yang merupakan generasi ketiga dari kelurganya. Erika
pun berharap agar rumah makan yang sudah turun-temurun ini pun dapat
dilanjutkan oleh generasi berikutnya. “Mudah-mudahan aja lah itu, berdoa yang terbaik,” harap Erika.
Bahan-bahan yang diolah pun tidak bisa didapat langsung
di Jakarta. Rumah makan ini memiliki supplier ular maupun binatang lainnya yang
berasal dari Jawa. Pengiriman pun dilakukan 2 minggu sekali. Sebelum dikirim
setiap bahan diseleksi oleh supplier, setelah diterima bahan-bahan tersebut
diperiksa sekali lagi oleh pihak rumah makan sebelum diolah menjadi hidangan.
“Kami lihat dari ukuran ya, jadi ada standar ukuran masing-masing, kulitnya
juga yang gak rusak, dan pokonya engga sakit lah,” kata Adi (23) salah satu tukang potong di rumah makan
tersebut. Bahan yang termahal adalah buaya, karena memang dari supplier sendiri
memberikan harga yang cukup mahal untuk binatang tersebut, jadi rumah makan ini
pun memberikan harga yang mahal untuk masakan jenis tersebut.
Berhadapan dengan binatang yang tergolong buas seperti
ular kobra, buaya, dan sebagainya memberikan resiko bagi para pekerja di rumah
makan ini. Erika mengatakan bahwa setiap pekerjaan pasti memiliki resiko
masing-masing, seperti pekerjaan yang dilakukan oleh Adi yang bekerja sebagai
tukang potong di restoran tersebut. “Ya setiap pekerjaan punya resiko kerja
masing-masing ya, kalau kaya saya ini bagian potong gini ya pasti adalah
seperti contohnya aja kegigit ular, tetapi Alhamdulillah
saya gak pernah” kata Adi. Tetapi
pihak rumah makan, harus bisa memberikan pertolongan pertama jika salah satu
pegawainya tergigit. Erika pun menambahkan “ya pasti kita langsung memberikan
penanganan utama, tetapi untuk selanjutnya tentu harus dibawa ke Rumah Sakit
agar ditangani oleh dokter yang ahli, kalau kita kan hanya memberikan
pertolongan pertama.”.
Pada hari minggu siang, rumah makan terlihat sepi. Kebanyakan
pengunjung datang pada hari biasa dan pada saat jam pulang kerja. Biasanya ada
pelanggan yang rutin datang, dan mereka adalah orang-orang yang ingin
menyembuhkan penyakit tertentu. Konon memakan daging-daging ini dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit. “Ya bisa sembuhin penyakit, tetapi harus
rutin. Penyakitnya pun kebanyakan penyakit kulit ya. Kita kan juga memberikan menu paket obat untuk
penyakit-penyakit tertentu,” ujar Erika. Erika yang menjadi pemilik tempat
makan ini juga sering memakan daging ular dan daging lainnya. Erika memiliki
seorang putri, yang katanya telah ia berikan makanan ekstrim ini sejak kecil.
Bahkan anaknya sangat menyukai dan meminta sendiri.
Untuk obat, jelas yang paling laku adalah darah empedu
ular. Tetapi meminum darah empedu ularmempunyai cara sendiri dan tidak boleh
sembarangan. Darah empedu ular diambil dari ular yang masih hidup, dan
diberikan campuran cairan empedu dari ular yang sama. Untuk meminumnya, kita
harus meminumnya secara langsung tidak boleh sampai darah tersebut mengental. Dalam
memesan dan meminumnya pun tidak boleh ragu-ragu. Setelah meminumnya akan ada
rasa pahit dan terasa panas di dalam tenggorokan. Tetapi diingatkan tidak boleh
mengkonsumsi teh dan kopi untuk beberapa jam kedepan. “Perlu diingat, bahwa
sebenarnya makanan seperti ini bukan akan menyembuhkan penyakit secara tuntas,
tetapi hanya mengurangi keluhan penyakit,” tegas Erika.
Tak lama setelah itu makanan yang dipesan pun datang. Erika,
selaku pemilik rumah makan mempersilakan kami untuk mencoba makanan tersebut. Dari
cara penyajian dan bentuk fisik sate monyet tidak ada berbeda dengan sate-sate
pada umumnya. Akhirnya partner saya pun langsung mengambil satu tusuk dan
memakannya, untuk pertama kali sangat susah untuk memakannya, karena dagingnya keras.
“Dagingnya keras ya,” ucap Andrian
(29).
Karena penasaran saya pun mencobanya. Melihat kami yang
kesusahan, pelayan yang tak lain adalah keponakan dari sang pemilik mengatakan
bahwa daging monyet memang keras. “Untuk daging monyet memang tergolong agak keras,
kaya daging kambing,” ujarnya. Tetapi
kami merasa rasanya tidak seperti daging kambing. Karena daging kambing lebih
mudah dimakan, daripada daging ini. Sepertinya tusuk sate yang digunakan juga
bukan tusuk sate seperti biasa yang digunakan untuk sate ayam. Tusuk yang
dipakai pun lebih tebal dan besar. Harganya pun tergolong mahal, untuk
menyantap 10 tusuk daging monyet kami harus merogoh kocek yang cukup dalam.
Tujuan setiap orang untuk datang ke rumah makan ini berbeda-beda.
Memang kebanyakan orang datang untuk berobat., tetapi tidak dengan meminum ramuan
ini, penyakit langsung bablas hilang,
tetapi hanya membantu mengurangi rasa sakit. Tidak sedikit orang yang datang
hanya untuk sekedar mencoba dan mencari pengalaman saja. Dalam hidup ini
janganlah kita melakukan hal yang
biasa-biasa saja, tidak ada salahnya kita mencoba hal-hal baru, jangan bikin hidup anda menjadi datar, karena hidup tidak mungkin berjalan dengan mulus dan lurus.
Untuk itu kita harus mengisi hidup kita dengan hal yang luar biasa.
![]() |
Rumah makan Raja Kobra tampak depan |
![]() |
Menu-menu yang tersedia |
Valencia Natasha
00000002089
Sangat menarik dan memberi edukasi bagi masyarakat.. Good job😊
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWah saya baru tahu ada makanan2 unik seperti ini. Ditunggu info2 unik lainnya!
BalasHapusUsaha yg bagus.. Trs brkembang dan bantu perluas lapangan kerja yaa..
BalasHapusInfo yang sangat menambah wawasan akan makanan yang begitu langkah dan unik ..terus berkembang lagi dengan berbagai info menarik lainnya ya
BalasHapuswah menunya unik" makannya... semoga ada postingan lagi tentang makanan yang langka dan unik lagi :)
BalasHapusApa bisa bantu saya untuk mendapatkan tulang monyet gan sy butuh buat obat TRIms sebelumnya
BalasHapus