4 September 2015

Life is Never Flat


Penyajian sate monyet dengan bumbu kecap

Life is Never Flat



Menurut Charles Darwin, terbentuknya manusia adalah karena proses evolusi dari suatu species tertentu. Species itu adalah kera atau monyet. Secara tidak langsung Darwin menyamakan manusia dengan monyet. Bagaimana bila kita memakan daging kita sendiri?

            Untuk menjawab pertanyaan itu pun, saya pergi ke daerah Mangga Besar tepatnya ke rumah makan Istana Raja Kobra. Sesampainya disana saya merasakan semacam keterkejutan dengan tempay tersebut. Memang pepatah yang mengatakan “don’t judge a book by its cover” memang benar. Saat pertama kali melihat restoran ini, hal pertama yang terlintas dipikiran anda semua adalah tempat yang kotor, kumuh, dan sangat tidak mengundang selera makan anda sama sekali. Apalagi berbagai bahan makanan yang tidak lazim lah yang akan anda makan. Mungkin anda juga akan membayangkan tempat penjagalan binatang-binatang.
            Tetapi tempat tersebut, tidak seperti yang dibayangkan. Saat memasuki ke dalam rumah makan tersebut, tempatnya seperti rumah makan pada umumnya. Berlantai keramik putih, diterangi dengan lampu yang cukup terang, adanya kipas angin yang tidak membuat ruangan menjadi pengap. Meja yang disediakan untuk mengunjung pun tidak terlalu banyak, dan di pojok terdapat meja kasir yang cukup besar yang terjdapat banyak ukiran berbentuk ular. Dinding pun dihiasi dengan berbagai foto jadul, foto-foto dengan orang ternama yang pernah makan disitu. Yang paling menarik adalah banyaknya lemari kaca di dinding atas tempat makan tersebut.  Lemari kaca tersebut memamerkan tas, dompet, maupun ikat pinggang yang terbuat dari kulit ular. Jangan tanyakan harganya, sudah pasti harganya selangit. Karena penasaran saya pun bertanya kepada pemilik rumah makan tersebut. “Ya kalau ini semua sih hasil usaha sendiri, kan kalau daging ular untuk dikonsumsi untuk kulitnya kami manfaatkan untuk hasil karya seperti ini,” kata Erika (30).
            Sebelum melanjutkan perbincangan, kami pun menentukan makanan apa yang akan kami coba disini. Bermacam-macam binatang tersedia disini, ada ular, biawak, monyet, kalong, buaya, dan bulus. Cara masaknya pun bermacam-macam bisa di sate, disajikan menjadi sup, digoreng biasa maupun menggunakan tepung, ada juga yang berupa minyak, atau sudah siap dimakan langsung seperti abon. Akhirnya pilihan jatuh kepada ‘sate monyet’. Bumbu untuk makanan tersebut pun, terdiri dari 2 macam. Bumbu itu adalah bumbu kacang atau kecap. Pilihan akhirnya jatuh pada sate monyet dengan bumbu kecap. Ternyata tempat penjagalan itupun tidak ada, sate daging monyet yang akan dibakar pun sudah disiapkan ternyata. Tidak perlu ada pemotongan terlebih dahulu. Dapur tergolong kecil, hanya seperti dapur rumahan biasa, bukan seperti dapur rumah makan pada umumnya.
            Makanan selalu didampingi oleh minuman, mereka sudah bagaikan baju dan celana. Udara yang panas, membuat ingin meminum yang dingin-dingin agar badan segar. Inginnya sih minum es teh atau semacamnya.”Disini teh dan kopi kosong,” ucap salah satu pelayan di rumah makan ini yang juga merupakan keponakan dari Erika. Hal itu terasa aneh, karena minuman yang disediakan pun hanya air mineral kemasan. Ternyata di dekat dapur, terdapat papan kecil yang bertuliskan “setelah meminum ramuan empedu ular, tidak boleh meminum kopi dan teh selama 3-4 jam”. Mengapa? “Karena kopi dan teh itu bisa menjadi penetral, nanti ujung-ujungnya ramuan empedu ular itu jadi gak efektif,” jelas keponakan dari Erika.
            Sambil menunggu pesanan, akhrinya saya memutuskan melakukan perbincangan dengan sang pemilik. Ternyata rumah makan ini sudah ada sejak 30 tahun yang lalu. “Awalnya dulu buka di Surabaya, di daerah Karang Menjangan akhirnya tutup baru pindah ke Jakarta ini,” ucap Erika. 10 tahun rumah makan ini berada di Surabaya, jika ditotal rumah makan ini sudah ada sejak 40 tahun yang lalu. Rumah makan ini pun diwariskan secara turun-temurun. Pada saat ini dipegang oleh Erika yang merupakan generasi ketiga dari kelurganya. Erika pun berharap agar rumah makan yang sudah turun-temurun ini pun dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya. “Mudah-mudahan aja lah itu, berdoa yang terbaik,” harap Erika.
            Bahan-bahan yang diolah pun tidak bisa didapat langsung di Jakarta. Rumah makan ini memiliki supplier ular maupun binatang lainnya yang berasal dari Jawa. Pengiriman pun dilakukan 2 minggu sekali. Sebelum dikirim setiap bahan diseleksi oleh supplier, setelah diterima bahan-bahan tersebut diperiksa sekali lagi oleh pihak rumah makan sebelum diolah menjadi hidangan. “Kami lihat dari ukuran ya, jadi ada standar ukuran masing-masing, kulitnya juga yang gak rusak, dan pokonya engga sakit lah,” kata Adi (23) salah satu tukang potong di rumah makan tersebut. Bahan yang termahal adalah buaya, karena memang dari supplier sendiri memberikan harga yang cukup mahal untuk binatang tersebut, jadi rumah makan ini pun memberikan harga yang mahal untuk masakan jenis tersebut.
            Berhadapan dengan binatang yang tergolong buas seperti ular kobra, buaya, dan sebagainya memberikan resiko bagi para pekerja di rumah makan ini. Erika mengatakan bahwa setiap pekerjaan pasti memiliki resiko masing-masing, seperti pekerjaan yang dilakukan oleh Adi yang bekerja sebagai tukang potong di restoran tersebut. “Ya setiap pekerjaan punya resiko kerja masing-masing ya, kalau kaya saya ini bagian potong gini ya pasti adalah seperti contohnya aja kegigit ular, tetapi Alhamdulillah saya gak pernah” kata Adi. Tetapi pihak rumah makan, harus bisa memberikan pertolongan pertama jika salah satu pegawainya tergigit. Erika pun  menambahkan “ya pasti kita langsung memberikan penanganan utama, tetapi untuk selanjutnya tentu harus dibawa ke Rumah Sakit agar ditangani oleh dokter yang ahli, kalau kita kan hanya memberikan pertolongan pertama.”.
            Pada hari minggu siang, rumah makan terlihat sepi. Kebanyakan pengunjung datang pada hari biasa dan pada saat jam pulang kerja. Biasanya ada pelanggan yang rutin datang, dan mereka adalah orang-orang yang ingin menyembuhkan penyakit tertentu. Konon memakan daging-daging ini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. “Ya bisa sembuhin penyakit, tetapi harus rutin. Penyakitnya pun kebanyakan penyakit kulit ya. Kita kan juga memberikan menu paket obat untuk penyakit-penyakit tertentu,” ujar Erika. Erika yang menjadi pemilik tempat makan ini juga sering memakan daging ular dan daging lainnya. Erika memiliki seorang putri, yang katanya telah ia berikan makanan ekstrim ini sejak kecil. Bahkan anaknya sangat menyukai dan meminta sendiri.
            Untuk obat, jelas yang paling laku adalah darah empedu ular. Tetapi meminum darah empedu ularmempunyai cara sendiri dan tidak boleh sembarangan. Darah empedu ular diambil dari ular yang masih hidup, dan diberikan campuran cairan empedu dari ular yang sama. Untuk meminumnya, kita harus meminumnya secara langsung tidak boleh sampai darah tersebut mengental. Dalam memesan dan meminumnya pun tidak boleh ragu-ragu. Setelah meminumnya akan ada rasa pahit dan terasa panas di dalam tenggorokan. Tetapi diingatkan tidak boleh mengkonsumsi teh dan kopi untuk beberapa jam kedepan. “Perlu diingat, bahwa sebenarnya makanan seperti ini bukan akan menyembuhkan penyakit secara tuntas, tetapi hanya mengurangi keluhan penyakit,” tegas Erika.
            Tak lama setelah itu makanan yang dipesan pun datang. Erika, selaku pemilik rumah makan mempersilakan kami untuk mencoba makanan tersebut. Dari cara penyajian dan bentuk fisik sate monyet tidak ada berbeda dengan sate-sate pada umumnya. Akhirnya partner saya pun langsung mengambil satu tusuk dan memakannya, untuk pertama kali sangat susah untuk memakannya, karena dagingnya keras. “Dagingnya keras ya,” ucap Andrian (29).
            Karena penasaran saya pun mencobanya. Melihat kami yang kesusahan, pelayan yang tak lain adalah keponakan dari sang pemilik mengatakan bahwa daging monyet memang keras. “Untuk daging monyet memang tergolong agak keras, kaya daging kambing,” ujarnya. Tetapi kami merasa rasanya tidak seperti daging kambing. Karena daging kambing lebih mudah dimakan, daripada daging ini. Sepertinya tusuk sate yang digunakan juga bukan tusuk sate seperti biasa yang digunakan untuk sate ayam. Tusuk yang dipakai pun lebih tebal dan besar. Harganya pun tergolong mahal, untuk menyantap 10 tusuk daging monyet kami harus merogoh kocek yang cukup dalam.

            Tujuan setiap orang untuk datang ke rumah makan ini berbeda-beda. Memang kebanyakan orang datang untuk berobat., tetapi tidak dengan meminum ramuan ini, penyakit langsung bablas hilang, tetapi hanya membantu mengurangi rasa sakit. Tidak sedikit orang yang datang hanya untuk sekedar mencoba dan mencari pengalaman saja. Dalam hidup ini janganlah kita melakukan hal yang  biasa-biasa saja, tidak ada salahnya kita mencoba hal-hal baru, jangan bikin hidup anda menjadi datar, karena hidup tidak mungkin berjalan dengan mulus dan lurus. Untuk itu kita harus mengisi hidup kita dengan hal yang luar biasa.


Rumah makan Raja Kobra tampak depan


Menu-menu yang tersedia

Valencia Natasha
00000002089



7 komentar:

  1. Sangat menarik dan memberi edukasi bagi masyarakat.. Good job😊

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Wah saya baru tahu ada makanan2 unik seperti ini. Ditunggu info2 unik lainnya!

    BalasHapus
  4. Usaha yg bagus.. Trs brkembang dan bantu perluas lapangan kerja yaa..

    BalasHapus
  5. Info yang sangat menambah wawasan akan makanan yang begitu langkah dan unik ..terus berkembang lagi dengan berbagai info menarik lainnya ya

    BalasHapus
  6. wah menunya unik" makannya... semoga ada postingan lagi tentang makanan yang langka dan unik lagi :)

    BalasHapus
  7. Apa bisa bantu saya untuk mendapatkan tulang monyet gan sy butuh buat obat TRIms sebelumnya

    BalasHapus