Pak Nusril sedang melakukan pengecekan rel Kereta Api Serpong
SERPONG - Dingin mulai terasa menusuk kulit. Gelap membutakan mata. “JEGER”..Tiba-tiba petir menyambar sebuah pohon rindang. Hujan jatuh bagaikan jarum menusuk kulit. Lalu terdengar suara “Krekkk”.. Besi, baut, mur, dan rel langsung terlepas seolah melarikan diri. Sekumpulan orang berlari mengambilnya. Menit berikutnya tiba-tiba suasana seakan berubah..sesosok makhluk tidak terlihat namun terasa. Kaki berusaha melangkah. Tertahan oleh rasa takut yang meluap.
Selama 20 tahun, inilah yang dirasakan oleh Nusril Hassanudin. Ia melaksanakan sebuah pekerjaan yang mulia sebagai Juru Penilik Jalan Kereta di Stasiun Kereta Api Serpong.
Oleh CHERYL ANTOINETTE
Malam menjelang subuh, gelap berganti terang. Nusril Hassanudin (55) warga Cilenggang, Tangerang Selatan keluar dari rumahnya yang hanya beralaskan tanah, beratapkan seng dan berdinding gedek. Dengan mengenakan pakaian bewarna hitam dan rompi oranye pria paruh baya ini menuju ke Stasiun Kereta Api Serpong. Dalam dinginnya malam, ia menyusuri jalan rel dengan ditemani bunyi jangkrik dan suara hembusan angin yang setia menemani di dalam perjalanannya.
Nusril Hassanudin, berwajah keriput, bertubuh ringkih, dan rambut yang sudah mulai memutih. Tidak seperti orang pada umumnya Nusril bekerja sebagai Baanschoer atau JPJ (Juru Penilik Jalan) di Stasiun Kereta Api Serpong. Tugasnya adalah melakukan pengecekan sepanjang rel untuk memastikan keamanan setiap inchi rel yang ia lalui.
Pekerjaan sebagai JPJ ini adalah sebuah tugas yang mempertaruhkan nyawa. Risiko yang diambil sangatlah besar dibandingkan upah yang didapat. Untuk menyusuri rel kereta saja hal itu seringkali bisa terjadi kecelakaan bila tidak konsentrasi saat berjalan. “Memang waktu itu ada seseorang JPJ yang akhirnya meninggal saat bertugas karena tertabrak oleh kereta. Tapi ya saya tau ini risiko sebelum saya ambil kerjaan ini saya juga sudah memperhitungkan. Tapi apakah kita tega bila dibandingkan antara nyawa saya dan nyawa semua penumpang?” kata Nusril dengan raut muka sedih.
Selain memiliki pekerjaan yang sangat berisiko tinggi, jam kerja Nusril juga sangat berbeda dengan orang pada umumnya, karena jam kerjanya baru dimulai dari tengah malam sampai subuh pagi. Saat matahari hilang maka ia akan berpergian bagaikan kelelawar yang sedang mencari makanan. “Kalau orang bangun saya tidur, kalo orang tidur saya kerja. Nah itulah pekerjaan saya. Memang beda, Lagian kan saya juga harus bekerja disaat kereta itu berhenti beroperasi kan.. he.. he…” canda Nusril.
Pria yang memiliki suara lantang dengan aksen medok ini, memilik beban pekerjaan yang lebih berat daripada penilik lainnya karena di Stasiun Serpong ia hanyalah seorang diri yang mengemban pekerjaan tersebut. Jadi ia harus berjalan ke stasiun Sudimara, dan terkadang langsung menuju stasiun Rangkasbitung. “Saya sudah bilang ke Nusril bahwa kalau dia tidak kuat menjadi Baanschoer tidak apa, tapi dia bilang kalau tidak ada dia siapa lagi yang bisa menyelamatkan jutaan nyawa?” ujar Dede (42), Wakil Kepala Stasiun Serpong.
Bahkan Nusril setiap harinya harus menyusuri panjangnya bentangan rel bukan menggunakan kendaraan, tetapi ia harus melaksanakan tugasnya dengan hanya bermodalkan kedua kakinya. “Kalo bilang gak capek, itu mah saya lagi bohong kali. Capek banget tapi kalau saya sudah mau bekerja ya saya mau total dalam kerjaan tersebut,” papar Nusril.
Sambil menyusuri kereta, kepala burung hantunya tetap awas memeriksa baut, mur, dan besi rel yang kendor. Dengan hanya cahaya kecil yang berasal dari lenteranya ia diharuskan untuk mengetahui setitik saja cacat yang ada di rel kereta api tersebut. “Untuk menjadi penilik jalan rel kita gak pernah asal comot, banyak syaratnya. Selain pekerjaan ini butuh stamina yang tinggi, tetapi sebenarnya ada syarat formalnya yaitu mata harus normal, ya maksudnya jangan minus ataupun silinder, kan kerjaan ini malem sampe subuh, ya kalo matanya rusak susah juga buat awas jadi ya syaratnya itu, supaya bisa melihat jelas walau gelap sekalipun,” ujar Dede.
Bila saat menyusuri bentangan rel kereta ada baut, mur, besi yang rusak, maka Nusril dengan siaga langsung mengeluarkan linggis yang dibawanya dan memperbaiki bagian mana saja yang rusak dan baut mana yang kendor. “Kalo urusan baut saya masih tenang soalnya gak bahaya, gantinya juga cepet,” ujarnya. Lain halnya bila terjadi kehilangan pada rel itu sendiri, Nusril tidak akan tinggal diam. Hal itu pernah dirasakan oleh Nusril 11 tahun yang lalu, saat menjelang subuh, Nusril mengatakan bahwa ia melihat temannya sendiri berada di rel kereta dengan rombongannya. Saat Nusril mau menyapa ternyata orang yang dikenalnya tersebut langsung kabur membawa beberapa rel copotan. Ketika itu, kura-kura langsung berubah menjadi macan yang melihat mangsa, Nusril langsung mengejar kawanan pencuri rel dengan sangat sigap.
Perjalanan Nusril sebagai JPJ juga harus diwarnai dengan peristiwa angker karena selalu melewati kuburan dari Stasiun Sudimara menuju Rangkasbitung. Nusril yang memiliki mental yang amat kuat ini, mengaku pernah melihat keranda mayat melewati rel tepat depan mata kepalanya sendiri. “Pada saat itu saya amat shock, namun karena sudah biasa sekarang paling bila melihat makhluk halus saya hanya baca doa saja sambil tetap berjalan,” katanya.
Perjuangan Nusril yang sangat berat tersebut tidak akan bisa ia lalui tanpa dukungan dari keluarga kecilnya. Pria yang mempunyai kepribadian hangat ini memiliki tanggung jawab sebagai tonggak uang mereka. Walau pekerjaan ini terbilang kecil dan tidak dianggap, namun dengan perjuangannya sebagai JPJ selama 20 tahun, Nusril mampu membiayai anak sulungnya sampai meraih gelar sarjana. “Saya melakukan kerjaan ini, demi anak saya. Saya bersyukur banget sama Allah walau gaji gak banyak tapi anak saya bisa sarjana,” ujar Nusril.
Pekerjaan yang telah menjadi kas uang keluarganya selama ini seringkali dipandang sebelah mata, namun tangkai kering berjiwa baja ini tetap memiliki semangat yang tiada henti demi keluarganya dan orang lain. Tidak pernah keluar dari bibirnya kata keluhan. Matanya memancarkan sebuah ketulusan. Salah satu sosok masyarakat kecil yang mengemban suatu tugas yang sangat mulia. Nyawa diganti nyawa, itulah risiko dari pekerjaan ini. Faktanya, jasa mereka masih tidak dianggap sampai sekarang. Bayangkan Anda berada di posisinya, apakah Anda mau terabaikan?
Editor : Cheryl Antoinette
|
Kisah hidup yg mengharukan dan patut menjadi panutan.
BalasHapus