6 September 2015

Imlek Sulap Gerobak Liang Teh

"Imlek Sulap Gerobak Liang Teh”
Oleh : Mellysa - 00000000738
Di pinggir jalan itu, terlihat sebuah kotak besar beroda dua.  Berbeda dari biasanya, gerobak itu kini bernuansa merah.  Toples–toples kaca digantikan dengan amplop merah yang tersusun rapih di atasnya. Beberapa jenis gantungan berwarna senada diletakkan di langit – langit papan kayu berwarna putih itu.  Plastik dan sedotan yang biasa selalu menemani gerobak itu pun, berganti dengan kertas–kertas persegi bertuliskan Huruf Mandarin.  Hanya ada satu yang tidak berubah, yakni tulisan “LIANG TEH”. 
A
siong.  Begitulah ia akrab disapa.  Sehari – harinya Asiong bekerja sebagai penjual liang teh di pinggiran kompleks Citra 2, Jakarta Barat.  Ketika mendekati perayaan Tahun Baru Cina, Asiong menyulap gerobak liang tehnya menjadi “gerobak xincia”. Tepatnya seminggu sebelum perayaan Imlek, ia akan menjajakan pernak–pernik ala xincia.    
Datangnya tahun baru Cina, juga mendatangkan banyak keuntungan bagi Asiong.  “Lebih laku sih, rame lagi.  Yang beli lebih banyak dari yang beli liang teh.  Lagian, udah pada langganan juga, pada udah tahu kalo deket–deket xin cia saya jadi tukang beginian, ujar Asiong
Hiasan yang di jualnya sangat beragam.  Mulai dari harga Rp.5.000,- hingga Rp. 130.000,-.  Penghasilannya menjual pernak–pernik xincia juga lebih menguntungkan.  Namun, sangat disayangkan, moment ini hanya datang sekali setahun. 
Belasan mobil lalu lalang dan berebut parkir.  Tidak heran, kawasan itu memang ramai saat malam hari karena banyak ruko–ruko menjual santapan yang menggugah selera. Ia mulai mangkal sekitar pukul lima sore setiap harinya.  Setelah matahari terbenam, beberapa pembeli mulai ramai mendatangi dagangannya.  Pembelinya pun beragam, dari mulai pria bermata sipit, hingga kumpulan nenek – nenek yang mengenakan pakaian Cina jaman dulu.  Samar – samar terdengar Asiong berbicara dengan bahasa yang asing di telinga. 
“Habisnya kulit saya hitam, tampang juga begini.  Gak pada tahu kalo saya itu orang keturunan juga.  Saya bisa bahasa Mandarin sedikit – sedikit, karena dulu kakek buyut saya pernah ajarin, ungkap Asiong.  Ternyata, pria berusia 39 tahun itu berasal dari Tangerang.  Kota dimana banyak terdapat populasi Cina Benteng. 
Cina Benteng sendiri adalah sebutan untuk warga Tionghua yang berasal dari Tangerang.  Sebutan ini berasal dari sebuah benteng pada jaman Belanda yang terletak di pinggir Sungai Cisadane.  Masyarakat Tionghua yang tinggal di wilayah itu kemudian disebut sebagai kaum Cina Benteng. 
Asiong sudah pindah dari rumah kakek buyutnya di Tangerang sejak ia menikah dengan istrinya.  Sutinah, istrinya adalah seorang wanita berdarah Sunda.  Asiong menyatakan, sebagai warga keturunan Cina, ia sudah sangat jauh meninggalkan tradisi dan kebudayaan – kebudayaan Cina.  Tradisi Imlek pun sudah tidak ia ikuti lagi, apalagi istrinya juga tidak merayakan Imlek. 
Kalo jualan angpao saya masih bisa.  Tapi kalo ngisi angpaonya, saya ngak bisa...” ujar Asiong dengan senyum masam. 
Baginya hari Imlek tidak berbeda dengan hari lainnya.  Hari dimana ia tetap harus sabar mengelap tetesan keringatnya demi mengepulkan asap dapur. 
Ia mengatakan bahwa terkadang ia merasa kewalahan menghadapi pembeli hiasan–hiasan imlek ini.  Ibu–ibu dan nenek–nenek paling jago menawar.  Mulai dari harga 25 ribu, bisa jadi 8 ribu.  “Itu salah satu karakteristik orang Cina yang saya ngak punya lagi sekarang,” ucap Asiong. 
Berbeda dari stereotip kaum Tionghua lainnya, Asiong tidak hidup dalam keberlimpahan harta.  Penghasilannya menjual liang teh dalam sehari kadang hanya cukup untuk makan dua kali.  Walaupun begitu, Asiong merasa senang dan bersyukur. “Tuhan itu adil, punya rencana, kalo saya sekarang tukang liang teh, ya mana tau kehidupan saya selanjutnya saya punya kebun teh,” ungkap Asiong sambil tertawa. 
Emil, langganan Asiong pun terlihat sudah akrab dengannya. Caranya menawar pun sudah seperti bercanda dengan sahabat sendiri.  Emil mengatakan bahwa ia sudah menjadi langganan Asiong selama 2 tahun.  “gue sama si Asiong mah udah kayak temen.  Dia dagang ke gue juga cincai jadinya.  “ ungkap Emil. 
Berbeda dengan seorang nenek yang sedang beradu argumen dengan Asiong.  “Udah tiap taun saya beli sama dia, tambah lama malah tambah mahal,” ujar si nenek. 
“Walaupun saya tidak diwarisi harta seperti Cina lainnya, setidaknya saya masih diwarisi sikap kaya hati seperti orang Cina, tapi bukan yang pelitnya loh,”  canda Asiong. 
Bunyi ratusan kembang api di langit, jutaan dupa dibakar untuk memanjatkan doa dan berbagai kue – kue tersaji di meja selama seminggu, tanda perayaan tahun baru telah usai.  Asiong harus mengembalikan gerobak liang tehnya menjadi seperti semula dan menunggu moment ini datang lagi, tahun depan. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar