"Imlek Sulap Gerobak
Liang Teh”
Oleh : Mellysa - 00000000738
Di pinggir jalan itu, terlihat sebuah kotak besar
beroda dua. Berbeda dari biasanya,
gerobak itu kini bernuansa merah. Toples–toples
kaca digantikan dengan amplop merah yang tersusun rapih di atasnya. Beberapa
jenis gantungan berwarna senada diletakkan di langit – langit papan kayu
berwarna putih itu. Plastik dan sedotan
yang biasa selalu menemani gerobak itu pun, berganti dengan kertas–kertas
persegi bertuliskan Huruf Mandarin. Hanya
ada satu yang tidak berubah, yakni tulisan “LIANG TEH”.
A
|
siong.
Begitulah ia akrab disapa. Sehari
– harinya Asiong bekerja sebagai penjual liang teh di pinggiran kompleks Citra
2, Jakarta Barat. Ketika mendekati
perayaan Tahun Baru Cina, Asiong menyulap gerobak liang tehnya menjadi “gerobak
xincia”. Tepatnya seminggu sebelum
perayaan Imlek, ia akan menjajakan pernak–pernik ala xincia.
Datangnya tahun baru Cina, juga mendatangkan banyak
keuntungan bagi Asiong. “Lebih laku sih, rame lagi. Yang beli lebih banyak dari yang beli liang
teh. Lagian, udah pada langganan juga,
pada udah tahu kalo deket–deket xin cia saya jadi tukang beginian,“ ujar Asiong.
Hiasan yang di jualnya sangat beragam. Mulai dari harga Rp.5.000,- hingga Rp.
130.000,-. Penghasilannya menjual pernak–pernik
xincia juga lebih menguntungkan. Namun, sangat disayangkan, moment ini hanya datang sekali
setahun.
Belasan mobil lalu lalang dan berebut parkir. Tidak heran, kawasan itu memang ramai saat malam
hari karena banyak ruko–ruko menjual santapan yang menggugah selera. Ia mulai
mangkal sekitar pukul lima sore setiap harinya.
Setelah matahari terbenam, beberapa pembeli mulai ramai mendatangi
dagangannya. Pembelinya pun beragam, dari
mulai pria bermata sipit, hingga kumpulan nenek – nenek yang mengenakan pakaian
Cina jaman dulu. Samar – samar terdengar
Asiong berbicara dengan bahasa yang asing di telinga.
“Habisnya kulit saya hitam, tampang juga
begini. Gak pada tahu kalo saya itu
orang keturunan juga. Saya bisa bahasa
Mandarin sedikit – sedikit, karena dulu kakek buyut saya pernah ajarin, ungkap Asiong.
Ternyata, pria berusia 39 tahun itu berasal dari Tangerang. Kota dimana banyak terdapat populasi Cina
Benteng.
Cina Benteng sendiri adalah sebutan untuk warga
Tionghua yang berasal dari Tangerang. Sebutan
ini berasal dari sebuah benteng pada jaman Belanda yang terletak di pinggir
Sungai Cisadane. Masyarakat Tionghua
yang tinggal di wilayah itu kemudian disebut sebagai kaum Cina Benteng.
Asiong sudah pindah dari rumah kakek buyutnya di
Tangerang sejak ia menikah dengan istrinya.
Sutinah, istrinya adalah seorang wanita berdarah Sunda. Asiong menyatakan, sebagai warga keturunan
Cina, ia sudah sangat jauh meninggalkan tradisi dan kebudayaan – kebudayaan
Cina. Tradisi Imlek pun sudah tidak ia
ikuti lagi, apalagi istrinya juga tidak merayakan Imlek.
“Kalo jualan
angpao saya masih bisa. Tapi kalo ngisi angpaonya, saya ngak bisa...” ujar Asiong dengan senyum
masam.
Baginya hari Imlek tidak berbeda dengan hari
lainnya. Hari dimana ia tetap harus
sabar mengelap tetesan keringatnya demi mengepulkan asap dapur.
Ia mengatakan bahwa terkadang ia merasa kewalahan
menghadapi pembeli hiasan–hiasan imlek ini.
Ibu–ibu dan nenek–nenek paling jago menawar. Mulai dari harga 25 ribu, bisa jadi 8
ribu. “Itu salah satu karakteristik
orang Cina yang saya ngak punya lagi sekarang,” ucap
Asiong.
Berbeda dari stereotip kaum Tionghua lainnya, Asiong
tidak hidup dalam keberlimpahan harta.
Penghasilannya menjual liang teh dalam sehari kadang hanya cukup untuk
makan dua kali. Walaupun begitu, Asiong
merasa senang dan bersyukur. “Tuhan itu adil, punya rencana, kalo saya sekarang
tukang liang teh, ya mana tau kehidupan saya selanjutnya saya punya kebun teh,” ungkap Asiong sambil tertawa.
Emil, langganan Asiong pun terlihat sudah akrab
dengannya. Caranya menawar pun sudah seperti bercanda dengan sahabat
sendiri. Emil mengatakan bahwa ia sudah
menjadi langganan Asiong selama 2 tahun.
“gue sama si Asiong mah udah kayak temen. Dia dagang ke gue juga cincai jadinya. “ ungkap Emil.
Berbeda dengan seorang nenek yang sedang beradu
argumen dengan Asiong. “Udah tiap taun
saya beli sama dia, tambah lama malah tambah mahal,” ujar si nenek.
“Walaupun saya tidak diwarisi harta seperti Cina lainnya,
setidaknya saya masih diwarisi sikap kaya hati seperti orang Cina, tapi bukan
yang pelitnya loh,”
canda Asiong.
Bunyi ratusan kembang api di langit, jutaan dupa dibakar
untuk memanjatkan doa dan berbagai kue – kue tersaji di meja selama seminggu,
tanda perayaan tahun baru telah usai.
Asiong harus mengembalikan gerobak liang tehnya menjadi seperti semula
dan menunggu moment ini datang lagi,
tahun depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar