20 September 2015

MENJALANKAN HIDUP SELALU BERSYUKUR

CINTHIA 00000000210

MENJALANKAN HIDUP SELALU BERSYUKUR

Saat mamat  bergema di langit Parung Bogor, seorang pria paruh baya bergegas meninggalkan perkebunan jambu air menuju rumah sederhana untuk sholat dan melepas lelah sejenak. Nampak wajah dan kaos merah yang melekat ditubuhnya dibasahi keringat karena udara siang itu begitu menyengat kulit itu .Rupanya, somat baru saja selesai menyemprot alang-alang di perkebunan jambu air dengan luas 11 hektar. Sudah 11 tahun ini, somat bekerja sebagai penjaga perkebunan milik pak asep,“Tugas saya merawat kebun, mencangkul, memangkas rumput dan memberi pupuk serta memanen buah,” ujar somat

Somat  bekerja harian dari Senin hingga Sabtu, jika dikalkulasikan maka pendapatan rata-rata tiap bulan yang Somat kantongi hanya 680 ribu rupiah. Padahal Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Kabupaten Bogor mencapai Rp1,172,060, “Walau digaji kecil, saya harus tetap bekerja karena kalau tidak masuk kerja, maka kasihan anak istri harus menahan lapar,” ungkap Somat . Menurutnya, tiap hari harus mengeluarkan minimal uang 20 ribu rupiah untuk belanja beras satu liter dan belanja sayuran 15 ribu rupiah. Tapi kalau ditambah dengan biaya sekolah anak bisa lebih dari itu.

Di zaman ekonomi berbiaya tinggi, tentu pendapatan sebagai penjaga kebun tidak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi Somat  masih menanggung biaya sekolah Vina , anak kedua hasil pernikahan dengan idah , yang kini duduk di bangku kelas IV SD Jampang 5. Dia mengaku, penghasilan dari bekerja di kebun tidak cukup untuk sepekan, hampir tiap Jumat uang sudah habis. Sehinga seringkali dia menyuruh Vina untuk tidak masuk sekolah tiap Jumat, “Kalau tidak ada ongkos Vina harus jalan ke sekolah sejauh sekitar dua kilo meter,” ujarnya dengan nada sedih.

Walau dalam keterbatasan perekonomian keluarga, somat tetap bersabar dan menjalin hubungan baik dengan para tetangga, sehingga jika ada tetangga yang datang malam-malam minta jambu untuk obat tetap dilayaninya, “Kasihan mereka minta jambu untuk obat demam berdarah,” katanya.

Sejak menerima amanah hewan ternak, Somat harus membagi waktu dengan pekerjaan utamanya sebagai penjaga kebun. “Kalau pagi saya ngurusin kebun dulu, kemudian sekitar jam dua siang saya ngarit(mencari rumput) di sekitar kebun,” ujarnya. Somat  kembali bersyukur karena disekitar rumahnya yang tak jauh dari area perkebunan jambu air terbentang rerumputan hijau, “Jadi ngga susah mencari rumput untuk makan para domba,” ucapnya.

Untuk memenuhi pakan 10 ekor domba, tiap hari Somat  harus menyediakan sekurangnya lima karung besar yang berisi rumput hijau. Dia berbagi pengalaman, menurutnya kalau mau ngarit jangan pas pagi karena embun masih menempel di rerumputan.  Jika embun masih menempel di rumput kemudian langsung di makan domba bisa menyebabkan cacingan. “Karena itu, saya kalau ngarit diatas jam dua belas siang,” katanya.

Walau rumput terbentang luas di area perkebunan, Somat mengaku belum pernah melepas domba ternaknya untuk mencari rumput  sendiri. Dia khawatir kalau di angon para bandot akan berantem yang bisa menyebabkan tanduk rusak atau patah sehingga jika nanti kalau dijual hargnya menjadi rendah.Untuk merawat domba, Somat juga rajin memandikan para domba dengan harapan dapat tidak dihinggapi penyakit. Menurutnya, sebelum dimandikan, tubuh domba terlebih dahulu digosok dengan daun pinang untuk membunuh kuman yang menempel di kulit domba. “Selain itu juga diberi vitamin dan obat mencret.”

Somat berharap, dalam proses penggemukan domba berjalan lancar dan keuntungan dari penjualan domba nantinya dapat membantu menutupi kebutuhan keluarga. “Yang penting waras selamet, cukup untuk makan walau hanya dengan lauk teri,” ucap Somat penuh syukur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar