CINTHIA 00000000210
MENJALANKAN HIDUP SELALU BERSYUKUR
Saat mamat bergema di langit Parung Bogor, seorang pria
paruh baya bergegas meninggalkan perkebunan jambu air menuju rumah sederhana
untuk sholat dan melepas lelah sejenak. Nampak wajah dan kaos merah yang
melekat ditubuhnya dibasahi keringat karena udara siang itu begitu menyengat
kulit itu .Rupanya, somat baru saja selesai menyemprot alang-alang di
perkebunan jambu air dengan luas 11 hektar. Sudah 11 tahun ini, somat bekerja
sebagai penjaga perkebunan milik pak asep,“Tugas saya merawat kebun,
mencangkul, memangkas rumput dan memberi pupuk serta memanen buah,” ujar somat
Somat bekerja harian dari Senin hingga Sabtu, jika
dikalkulasikan maka pendapatan rata-rata tiap bulan yang Somat kantongi hanya 680
ribu rupiah. Padahal Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) di Kabupaten Bogor mencapai Rp1,172,060, “Walau
digaji kecil, saya harus tetap bekerja karena kalau tidak masuk kerja, maka
kasihan anak istri harus menahan lapar,” ungkap Somat . Menurutnya, tiap hari
harus mengeluarkan minimal uang 20 ribu rupiah untuk belanja beras satu liter
dan belanja sayuran 15 ribu rupiah. Tapi kalau ditambah dengan biaya sekolah
anak bisa lebih dari itu.
Di zaman ekonomi
berbiaya tinggi, tentu pendapatan sebagai penjaga kebun tidak mampu menutupi
kebutuhan sehari-hari. Apalagi Somat masih menanggung biaya sekolah Vina , anak kedua
hasil pernikahan dengan idah , yang kini duduk di bangku kelas IV SD Jampang 5. Dia mengaku, penghasilan dari bekerja di kebun
tidak cukup untuk sepekan, hampir tiap Jumat uang sudah habis. Sehinga
seringkali dia menyuruh Vina untuk tidak masuk sekolah tiap Jumat, “Kalau tidak
ada ongkos Vina harus jalan ke sekolah sejauh sekitar dua kilo meter,” ujarnya
dengan nada sedih.
Walau
dalam keterbatasan perekonomian keluarga, somat tetap bersabar dan menjalin
hubungan baik dengan para tetangga, sehingga jika ada tetangga yang datang
malam-malam minta jambu untuk obat tetap dilayaninya, “Kasihan mereka minta
jambu untuk obat demam berdarah,” katanya.
Sejak menerima
amanah hewan ternak, Somat harus membagi waktu dengan pekerjaan utamanya
sebagai penjaga kebun. “Kalau pagi saya ngurusin kebun dulu, kemudian sekitar
jam dua siang saya ngarit(mencari
rumput) di sekitar kebun,” ujarnya. Somat kembali bersyukur karena disekitar rumahnya
yang tak jauh dari area perkebunan jambu air terbentang rerumputan hijau, “Jadi
ngga susah mencari rumput untuk makan para domba,” ucapnya.
Untuk
memenuhi pakan 10 ekor domba, tiap hari Somat harus menyediakan sekurangnya lima karung
besar yang berisi rumput hijau. Dia berbagi pengalaman, menurutnya kalau mau ngarit jangan pas pagi karena
embun masih menempel di rerumputan. Jika embun masih menempel di rumput
kemudian langsung di makan domba bisa menyebabkan cacingan. “Karena itu, saya
kalau ngarit diatas jam dua belas siang,” katanya.
Walau rumput terbentang
luas di area perkebunan, Somat mengaku belum pernah melepas domba ternaknya
untuk mencari rumput sendiri. Dia khawatir kalau di angon para bandot akan berantem yang bisa
menyebabkan tanduk rusak atau patah sehingga jika nanti kalau dijual hargnya
menjadi rendah.Untuk merawat domba, Somat juga rajin memandikan para domba
dengan harapan dapat tidak dihinggapi penyakit. Menurutnya, sebelum dimandikan,
tubuh domba terlebih dahulu digosok dengan daun pinang untuk membunuh kuman
yang menempel di kulit domba. “Selain itu juga diberi vitamin dan obat
mencret.”
Somat berharap, dalam
proses penggemukan domba berjalan lancar dan keuntungan dari penjualan domba
nantinya dapat membantu menutupi kebutuhan keluarga. “Yang penting waras selamet, cukup untuk makan
walau hanya dengan lauk teri,” ucap Somat penuh syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar