21 September 2015

Hilangnya Seorang Nelayan Akibat Tebalnya Kabut Asap Di Perairan Nias


Kebakaran hutan yang telah terjadi dari awal maret lalu, masih memberikan dampak yang sangat mencemaskan bagi warga Sumatra dan sekitarnya. Kabut asap sendiri telah menghalangi jarak pandang warga setempat sehingga mereka sulit beraktivitas. Kabut asap juga mengganggu saluran perpasan warga.

Akibat tebalnya kabut asap, seorang nelayan di perairan Nias di duga hilang. Pihak keluarga mengatakan bahwa Ahmad Yakub Gea (47) yang berasal dari Kecamatan Sawo, Nias Utara, berangkat melaut pada pukul 04.00  WIB (19/9/1015). Namun, Ahmad belum juga kembali hingga saat ini, Minggu (20/09/2015).

“Kami terus upayakan pencarian hingga petang ini, dan juga tetap melihat kondisi alam yang selalu berubah-ubah. jika tidak ditemukan akan dilanjukan besok,” kata Torang Hutahean, Kepala Pos SAR Nias, Minggu (20/09/2015).

TIM SAR telah menyisir perairan Riau dengan jarak sejauh lima mil, akan tetapi belum ada hasil yang memuaskan. jarak pandang yang terbatas juga merupakan kendala utama dalam pencarian ini. 

Pencarian akan dilanjutkan besok pagi, pukul 07.00 WIB. Tim SAR juga mengatakan bahwa mereka akan memperluas jangkauan pencarian korban dengan melakukan penyelaman di dasar laut. Pencarian atas hilangnya Ahmad akan berlangsung selama tiga hari.


sumber :

Dinda Dwi Putri (00000003401)

Meinia Mutiara Sari - 00000001021

Sandiwara Rakyat dari Jawa Barat


Description: Macintosh HD:Users:adisutrisno:Documents:IMG_0895.JPG


Panggung megah dengan suasana mencekram, aksi menggelegar para pemain teater dengan penuh hayat menjalani perannya, tetapi bangku para penonton kosong melompong, itulah suasana latihan teater Miss Tjijih yang dilakukan 3 jam pada setiap harinya. “Pada masa kini masyarakat luas mungkin tidak banyak yang mengenal apa itu sandiwara Miss Tjijih dan bahkan tidak tahu menau soal masih adanya teater tradisional seperti ini, ya memang sudah kalah dengan era digital sekarang ini.” Ucap kang Dadang sang asisten sutradara atau astrada. Pria kelahiran Bandung, tahun 1980 ini mengaku bergabung dengan sandiwara Miss Tjijih sejak tahun 2010 setelah pembenahan Teater Tradisional bersama Dewan Kesenian Jakarta. Tentu dengan background ‘orang seni’ apalagi beliau berasal dari daerah yang sama, pria berusia 35 tahun ini sangat tertarik untuk bergabung dengan Sandiwara Sunda seperti Miss Tjijih. Menurutnya, pada zaman sekarang ini masyarakat harus lebih mengenal budaya-budaya peninggalan agar dapat terus dilestarikan dan ‘tradisi’ harus membenahi diri agar bisa menarik minat masyarakat luas dan tetap eksis di era digital seperti sekarang ini.

Sandiwara Miss Tjijih sendiri merupakan Sandiwara Sunda yang berdiri sejak tahun 1928. Seperti yang dilihat dari namanya, Tjijih memang seorang Diva Sandiwara Sunda yang lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada tahun 1908 yang memiliki banyak talenta seperti berakting, menari, menyanyi, dan juga rupanya yang cantik. Sandiwara Sunda Miss Tjijih ini adalah bentukan dari suaminya yaitu Aboebakar Bafaqih seorang pemilik Opera Valencia yang mengubah nama kelompoknya menjadi tonil Miss Tjijih. Sepasang suami istri tersebut membentuk kelompok pentas ini seperti sebuah keluarga hingga sekarang. Ya, sejak sepeninggalan Miss Tjijih pada tahun 1939, Sandiwara Sunda ini tetap dijalankan dan hingga kini para pemain sandiwara Miss Tjijih ini selalu turun temurun. Sutradara Sandiwara Miss Tjijih kini adalah Ibu Imas. Wanita yang sekarang berusia 45 tahun itu merupakan anak dari salah seorang pemain Teater Miss Tjijih terdahulu yaitu Pak Tebah dan merupakan sutradara kedua peremuan setelah Miss Tjijih sendiri. Ibu Imas dan para pemain disela-sela isitrahat latihan saling bercanda dan sangat menyatu bagaikan keluarga. “Seperti inilah suasana latihan dan panggung sederhana kita ini,” ucap Ibu Imas dengan logat sundanya. Pensiun sutradara teater biasanya hingga akhir hidupnya, baru dapat digantikan dengan senior lainnya, begitupun seterusnya. Selain bertemu Ibu Imas, saya juga diberi kesempatan mewawancara seorang pemain senior yaitu Abah Iman. “Abah biasanya bermain sebagai Bodoran.” Ucap pria berusia 70 tahun itu. Beliau mengaku sudah bergabung dengan Sandiwara Miss Tjijih sejak tahun 1965. Anak-anaknya pun diikut sertakan dalam peranan Sandiwara Sunda tersebut.

Menurut abah iman, Sandiwara Miss Tjijih ini merupakan cikal bakal teater modern. Lihat saja dari lakon-lakon yang ditampilkan pada setiap pertunjukannya yang identik dengan drama horror seperti “Beranak di Dalam Kubur”, “Si Manis Jembatan Ancol” dan masih banyak lagi. Film-film horror masa kini banyak mengambil cerita dari lakon-lakon Miss Tjijih. Sekarang ini jumlah pemain teater Miss Tjijih berkisar dari 30 hingga 40 orang termasuk para pemain gamelan serta kru tata panggung. Terdahulu, jumlah pemain terbilang lebih banyak dari yang sekarang apalagi sering tampil dalam acara-acara penting kenegaraan, tentunya membutuhkan banyak tenaga.

Pertunjukkan teater Miss Tjijih pernah diundang di Istana Bogor pada tahun 1931. Sandiwara Miss Tjijih juga memiliki jadwal tetap tampil di Pasar Baroe, hingga Pasar Baroe ditutup tahun 1936. Pada masa sekarang ini Sandiwara Miss Tjijih pernah juga diundang tampil bersama TVRI, Galeri Indonesia Kaya, PT. Djarum Indonesia, Festival Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki (TIM), dan masih banyak lagi. Tetapi, jika ingin menikmati pagelaran sandiwara Miss Tjijih ini dapat langsung mendatangi Gedung Kesenian Miss Tjijih yang kini terletak di Jl Kabel Pendek, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Dengan hanya mengeluarkan biaya minim yaitu 10 ribu rupiah saja, para penonton disajikan penampilan lakon-lakon Miss Tjijih selama 2 jam dengan pentas khas bahasa sunda. Kini, pertunjukan teater tradisional tersebut hanya dipentaskan dua kali dalam satu bulan.

Sebelum kelompok pentas Miss Tjijih menetap di Cempaka Putih dan gedung tersebut masuk dalam APBD Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 2001, pertunjukkan teater tradisional ini sempat berpindah-pindah. Gedung Kramat Raya merupakan awal dijadikan tempat pementasan pada tahun 1936. Kemudian berpindah ke Gedung Angke yang tepatnya disebelah stasiun Tanah Abang hingga tergusur pada tahun 1987. Dan sampai saat ini menetap di Gedung Kesenian  Miss Tjijih tersebut di Cempaka Putih, walau sempat mengalami kebakaran hebat pada tahun 1997. Setelah dibentuk yayasan, gedung tersebut mendapat subsidi dari pemerintah setiap tahunnya.

Tempat tinggal para pemainpun juga disediakan tepat di belakang gedung. Suasana gedung dan tempat tinggal seakan tidak pernah sepi dan selalu ramai akan anak-anak apalagi pada sore hari. Mess sederhana yang ada di belakang gedung pementesan menjadi tempat berkumpulnya para pemain beserta keluarganya yang mengabdikan hidupnya untuk teater tradisional sunda tersebut. Meski demikian, saat ini mereka tak dapat lagi bertumpu hanya dari hasil pementasan semata, sehingga harus memiliki keahlian diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejumlah anggota teater Miss Tjijih ada yang bekerja sebagai PNS, sopir, kondektur angkutan umum, buruh bangunan dan lain-lain.


Hiss... Hiss... Yummy


Small food stalls on the sidewalk often is our choice in filling up our stomach, and not just for the taste, the price is pretty good as well, and by that, it means it doesn’t suck up all the money in our wallets like those fancy restaurants. Now, chicken, beef, all kinds of seafood, or even pork is getting kind of boring, what if there are regular food stalls that sells a different type of animal. This animal is spineless, scaly, mostly found in between bushes or swamps, the fossilized ones were discovered to be millions of years old, and in the Bible, it is even said that it was the reason that mankind fell into sin. What animal is this? You guessed it, snakes!
Not far from Tangerang, in Pasar Paramount Serpong to be exact, there is a food stall named Tenda Mahkota Cobra (or the Crown of Cobra’s Tent) that sells snakes cooked in different ways. This place does all kinds of things with the snakes, there are snake satays, shredded snake, fried snake, snake soup, and they even made oil and ointment from snakes to heal sickness. They also sell lizards in Tenda Mahkota Cobra, but the snakes are the prima donnas of this place.
“Husni, My late father started this business about 40 years ago, and of course it doesn’t start with this stall right away, it started from the house. My father was a snake lover, he owned more than 3 snakes at the time. Someday, someone came and asked my father to make a medicine out of the snakes. Since my father gave his favorite snake to help others, he then thinks to start this business,” said Dirman, the current owner of Tenda Mahkota Cobra.
In Mangga Besar, Jakarta, there is also another place that sell snakes as a culinary treat among other things, named Istana Raja Kobra (or The Castle of the King Cobra). This small restaurant is indoor, so you don’t have to worry about getting wet in the rain. There’s a whole lot of exotic animals offered in this place, such as crocodiles, monkey brains, squirrels, even bats, but again, the snakes are the best seller due to its various use. When you enter this place, there’s a blasting smell of God-knows-what just went up your nose, if you are a first-timer in trying exotic food like these, you would be pretty nervous because it gives a whole other vibe than a normal restaurant. And when you get over the smell, all around the place you can see bags, belts, wallets, and packaged foods that are made from snakes.
The python is a nonvenomous snake that can be found in Africa and large parts of Asia. There are currently 12 known species in the Python family, so that’s a lot. The biggest type of python is the python reticulatus, the adult can reach the length of 6.95 meters, which makes it one of the largest snakes in the world.
Most of the python genus can be found here in Indonesia, so getting them is not actually a problem. Making the edible and delicious is more difficult than getting the snakes itself. Due to the amount of pythons, pythons became the best seller in Istana Raja Kobra because it is cheaper than the other dishes. Pythons are very useful in this place, because every part of it can be used. The meat of the snake itself can be used to cure impotency, stroke, cancer, and is good for slowing down aging because it is good for the skin. One of the most useful parts of the python is the blood and the gall. Drinking the blood and the gall of snakes is believed to increase sex drive, and to heal sicknesses such as asthma, coughing, a weak heart, and, also it is believed that it could keep a person stamina’s up and strengthen a woman’s womb.
The blood of the snake must be served fresh, along with the gall, so it would only be done if someone ordered it in the restaurant. The process of getting the blood and the gall of the snake is not an easy task, a series of steps must be completed and can only be done by experts. The first step is taking the snake itself from the containment unit, then the most dangerous part of the snake, the head, is sliced off. Naturally, after being sliced off, blood would gush out, and that blood is the one used as a drink and poured into a small cup. Next, the snake is skinned so it would be easier to get to the gall. Taking the gall out from the snake must be done slowly and carefully because the gall is very fragile and be easily popped. After that is done, arak and honey is mixed with the blood of the python in the cup so it would give that sweetness taste.
Now, the place isn’t named Istana Raja Kobra for nothing. Just because pythons are the better seller, doesn’t mean there’s no cobras sold. The King Cobra is a rare snake, and can’t be found as easily as pythons, it is venomous and dangerous, but because of that, the meat, the blood and other parts of the King Cobra is a lot more expensive. While the fried pythons can cost only about Rp. 25.000, the King Cobra can quadruple that price, or even can reach Rp. 200.000. The cobra’s full body from its head to bottom even made a nice belt even it is preserved, with a rightful price that is.
(Written By: Reinaldo Oliver Daniel Yusak - 0000 000 2015)