9 Oktober 2015

Michelle Geraldine Irawan
0000-0000-592

MASALAH SI BANTENG BIRU

Kalau kita bicara tentang “Jakarta”, kata yang identik dengan ibu kota negara ini adalah banjir dan macet. Kemacetan terjadi dihampir seluruh ruas jalan. Padat merayap menjadi rutinitas pengguna kendaraan.

Salah satunya ada angkutan umum berwarna biru yang sering mendapat cacian dan hinaan pengguna jalan lainnya. Si banteng biru kini mendapat masalah yang lebih besar lagi.

“Jangan hapus pencarian kita. Saya cuma mau jaga apa yang jadi ciri khas Indonesia,” kata salah seorang sopir bemo yang mengomentari kebijakan pemerintah.

Oleh Michelle Geraldine Irawan

Bemo, Siapa yang tidak tau tentang keberadaaan kendaraan legendaris yang masih ramai lalu lalang di ibu kota Jakarta?  Banyak yang memuji, tapi tidak sedikit yang menghujat, contohnya pemerintah.

Menjadi sarjana teknik tidak menghalangi langkah Pak Muhhamad Zen (67) untuk menjadi sopir bemo. Pilihannya tersebut bukan tanpa alasan.“Saya cinta Indonesia, saya cuma mau jaga warisan saja,” kata Zen.

Keberadaan angkutan unik ini ada sejak dahulu kala. Lahir di tahun yang lebih awal jika dibandingkan busway, taxi, angkot, atau bajaj membuat sejarah bemo menarik untuk diketahui.

Angkutan umum yang menjadi angkutan kaum bawah ini, berjaya dimasanya. Dimasa masalah korupsi belum menjadi tranding topic dan dimasa kaum atas selalu menjadi penentu keputusan.

Tahun 1976 hingga tahun 1992, angkutan ini menduduki puncak paling atas untuk angkutan umum di Indonesia. Angkutan yang datang dari Negara tetangga, Negara yang menjadi penjajah Indonesia, Jepang.

Di Negara asalnya, Jepang bemo menjadi angkutan yang digunakan untuk mengangkat dan memindahkan barang dalam jumlah yang cukup besar ke daerah yang jauh.

Di Indonesia bemo disulap. “Bak belakang diisi kursi. Jadi penumpang bisa duduk enak walaupun tidak terlalu nyaman,” kata Zen.

Angkutan yang mejadi idola di jamannya kini mulai dilupakan. Tidak hanya dihapus dari memori tapi juga akan di hapus dari jenis angkutan umum yang boleh beroperasi di Indonesia.

Tidak ada yang mau mendukung keberadaan bemo di jalanan Ibukota. “Gak sedikit kok orang yang menghina dan mencaci kita saat kita masih di jalanan. Gak cuma kata kotor atau kasar. Kita sudah pasrah,” kata Zen. Pemerintah yang seharusnya menjadi mulut masyarakat hanya diam memandang.

Banyak yang menghujat keberadaan banteng biru yang selama hampir 25 tahun belakangan menjadi sumber penghasilannya. “Gara-gara bemo, jalanan macet. Gara-gara bemo jadi polusi udara,” kata Zen.

Perih yang dirasakan Pak Zen dan kawan-kawan tidak menghentikan tubuh rentanya berjuang untuk bertahan. “Terlambat untuk saya kalau mau kerja pakai status sarjana saya. Makanya saya tetap bertahan,” kata Zen.

Usaha untuk memepertahankan pekerjaannya bukan hal yang mudah. Bersama dengan seluruh sopir bemo di Jakarta, ia mendirikan PBJ (Paguyuban Bemo Jakarta) yang merupakan perkumpulan sopir bemo Jakarta.

Perkumpulan ini dimaksudkan untuk menyatukan para warga Negara Indonesia yang pekerjaannya adalah sopir bemo. Mereka berprinsip bahwa bemo harus menjadi angkutan umum yang tetap ada demi menjaga warisan budaya dan menciptakan keamanan dalam angkutan umum.

Akhir-akhir ini muncul kabar dimana bemo akan dihapuskan dari jenis angkutan umum yang boleh eksis di Jakarta. “Saya dan teman-teman sebenarnya tidak keberatan kalau bemo harus dihapuskan dari angkutan umum yang boleh beredar. Tapi setelah dihapuskan bagaimana dengan nasib kami? Siapa yang mau bertanggung jawabn dengan kelangsungan hidup kami?” Tanya Zen.

Pemerintah sempat menyatakan perihal tersebut yang sampai sekarang masih menjadi beban para sopir bemo. “Kenapa harus dihapuskan? Kan kita angkutan umum. Dipakai oleh warga Negara Indonesia, dan kami kira itu bukan masalah,” kata Pak Anwar, sopir bemo teman Pak Zen.

Pendapatan yang sangat minim bukan alasan mereka harus berhenti dari pekerjaannya. “Sehari angkut 10 kali, satu kali narik maksimal 7 orang penumpang. Yaa sehari cuma cukup untuk makan saja,” kata Pak Anwar.

Peghasilan mereka menurun sejak 3 tahun belakangan. Banyaknya angkutan umum yang lebih nyaman menjadi hambatan. “Sekarang sering rebutan penumpang sama angkutan umum lainnya. Tapi sebagai warga Negara yang baik kita sopir bemo punya janji bahwa gak boleh bikin ribut. Negara ini punya banyak masalah dan jangan ditambah masalah lagi,” kata Pak Zen.

Barisan bemo yang berjejer rapi di tepi jalan ternyata tidak serapi dan selurus perjuangan hidup orang-orang yang ada di balik kemudinya. Berjuang melawan kerasnya hidup, berjuang melawan kemacetan ibu kota, dan mereka harus berjuang melawan keputusan pemerintah.

Penghapusan bemo dari angkutan umum membuat Zen dan kawan-kawan geram. “Kita gak berharap semua warga dari kelas bawah sampai kelas atas untuk naik angkutan kita. Kita gak berharap mereka menghina dan mencaci.” Kata Zen.

Marah? Tentu, kesal? Pasti, menyerah? Tidak.

Para supir bemo yang selama ini ikut meramaikan jalanan berusaha melakukan yang terbaik agar tidak kehilangan pekerjaan mereka. “Kita usaha untuk terus berusaha agar bemo menjadi angkutan yang aman.  Kita usaha agar bemo tidak lagi dianggap ‘sampah’ jalanan, “ kata Pak Zen.

Masalah penghapusan bemo tidak hanya dirasakan para sopir banteng biru tersebut, namun juga pecintanya. “Ini angkutan umum sudah lama. Sudah seperti sejarah. Naik bemo itu murah banget. Jadi cocok untuk kantong yang tipis,” kata Nanik, penumpang bemo.

Perlawanan kepada pemerintah untu menggagalkan penghapusan bemo pun sudah dilakukan. “kita dulu sempat datang ke Balai Kota untuk ngomong tentang pendapat kita. Tapi gak digubris sama sekali sama pemerintah,” kata Zen.

Banyak alasan yang mereka punya untuk mencoba mempertahankan bemo di Indonesia. “Bukan cuma karena uang dan sejarah. Tapi boleh lihat bentuk angkutan ini. Unik kan!” Seru Pak Zen.

keunikan yang dimiliki si banteng biru mungkin terlihat biasa bagi warga Jakarta. Tapi pesonanya terbukti mampu menarik perhatian para wisatawan yang berasal dari luar negeri.

Jejeran foto tercetak. Banteng biru mampu membuktikan bahwa dirinya masih layak untuk membantu jalanan Jakarta menjadi lebih berwarna.

Diantara cacian dan hinaan yang diterima tidak menjadi lampu merah bagi para pengemudinya terus melanjutkan perjalanan. “Selama masyarakat bawah masih butuh, kita akan usaha untuk menjaga bemo agar tetap eksis di Jakarta,” ungkap Pak Zen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar