Michelle Geraldine Irawan
0000-0000-592
MASALAH SI BANTENG BIRU
Kalau
kita bicara tentang “Jakarta”, kata yang identik dengan ibu kota negara ini
adalah banjir dan macet. Kemacetan terjadi dihampir seluruh ruas jalan. Padat
merayap menjadi rutinitas pengguna kendaraan.
Salah
satunya ada angkutan umum berwarna biru yang sering mendapat cacian dan hinaan
pengguna jalan lainnya. Si banteng biru kini mendapat masalah yang lebih besar
lagi.
“Jangan
hapus pencarian kita. Saya cuma mau jaga apa yang jadi ciri khas Indonesia,” kata
salah seorang sopir bemo yang mengomentari kebijakan pemerintah.
Oleh Michelle Geraldine Irawan
Bemo, Siapa yang
tidak tau tentang keberadaaan kendaraan legendaris yang masih ramai lalu lalang
di ibu kota Jakarta? Banyak yang memuji,
tapi tidak sedikit yang menghujat, contohnya pemerintah.
Menjadi sarjana
teknik tidak menghalangi langkah Pak Muhhamad Zen (67) untuk menjadi sopir
bemo. Pilihannya tersebut bukan tanpa alasan.“Saya cinta Indonesia, saya cuma
mau jaga warisan saja,” kata Zen.
Keberadaan
angkutan unik ini ada sejak dahulu kala. Lahir di tahun yang lebih awal jika
dibandingkan busway, taxi, angkot, atau bajaj membuat sejarah bemo menarik untuk
diketahui.
Angkutan umum
yang menjadi angkutan kaum bawah ini, berjaya dimasanya. Dimasa masalah korupsi
belum menjadi tranding topic dan dimasa kaum atas selalu menjadi penentu
keputusan.
Tahun 1976 hingga
tahun 1992, angkutan ini menduduki puncak paling atas untuk angkutan umum di
Indonesia. Angkutan yang datang dari Negara tetangga, Negara yang menjadi penjajah
Indonesia, Jepang.
Di Negara
asalnya, Jepang bemo menjadi angkutan yang digunakan untuk mengangkat dan memindahkan
barang dalam jumlah yang cukup besar ke daerah yang jauh.
Di Indonesia bemo
disulap. “Bak belakang diisi kursi. Jadi penumpang bisa duduk enak walaupun
tidak terlalu nyaman,” kata Zen.
Angkutan yang
mejadi idola di jamannya kini mulai dilupakan. Tidak hanya dihapus dari memori
tapi juga akan di hapus dari jenis angkutan umum yang boleh beroperasi di
Indonesia.
Tidak ada yang
mau mendukung keberadaan bemo di jalanan Ibukota. “Gak sedikit kok orang yang
menghina dan mencaci kita saat kita masih di jalanan. Gak cuma kata kotor atau
kasar. Kita sudah pasrah,” kata Zen. Pemerintah yang seharusnya menjadi mulut
masyarakat hanya diam memandang.
Banyak yang
menghujat keberadaan banteng biru yang selama hampir 25 tahun belakangan menjadi
sumber penghasilannya. “Gara-gara bemo, jalanan macet. Gara-gara bemo jadi
polusi udara,” kata Zen.
Perih yang
dirasakan Pak Zen dan kawan-kawan tidak menghentikan tubuh rentanya berjuang
untuk bertahan. “Terlambat untuk saya kalau mau kerja pakai status sarjana
saya. Makanya saya tetap bertahan,” kata Zen.
Usaha untuk
memepertahankan pekerjaannya bukan hal yang mudah. Bersama dengan seluruh sopir
bemo di Jakarta, ia mendirikan PBJ (Paguyuban Bemo Jakarta) yang merupakan
perkumpulan sopir bemo Jakarta.
Perkumpulan ini
dimaksudkan untuk menyatukan para warga Negara Indonesia yang pekerjaannya adalah
sopir bemo. Mereka berprinsip bahwa bemo harus menjadi angkutan umum yang tetap
ada demi menjaga warisan budaya dan menciptakan keamanan dalam angkutan umum.
Akhir-akhir ini
muncul kabar dimana bemo akan dihapuskan dari jenis angkutan umum yang boleh eksis di Jakarta. “Saya dan teman-teman
sebenarnya tidak keberatan kalau bemo harus dihapuskan dari angkutan umum yang
boleh beredar. Tapi setelah dihapuskan bagaimana dengan nasib kami? Siapa yang
mau bertanggung jawabn dengan kelangsungan hidup kami?” Tanya Zen.
Pemerintah sempat
menyatakan perihal tersebut yang sampai sekarang masih menjadi beban para sopir
bemo. “Kenapa harus dihapuskan? Kan kita angkutan umum. Dipakai oleh warga
Negara Indonesia, dan kami kira itu bukan masalah,” kata Pak Anwar, sopir bemo
teman Pak Zen.
Pendapatan yang
sangat minim bukan alasan mereka harus berhenti dari pekerjaannya. “Sehari
angkut 10 kali, satu kali narik maksimal 7 orang penumpang. Yaa sehari cuma
cukup untuk makan saja,” kata Pak Anwar.
Peghasilan mereka
menurun sejak 3 tahun belakangan. Banyaknya angkutan umum yang lebih nyaman
menjadi hambatan. “Sekarang sering rebutan penumpang sama angkutan umum
lainnya. Tapi sebagai warga Negara yang baik kita sopir bemo punya janji bahwa
gak boleh bikin ribut. Negara ini punya banyak masalah dan jangan ditambah
masalah lagi,” kata Pak Zen.
Barisan bemo yang
berjejer rapi di tepi jalan ternyata tidak serapi dan selurus perjuangan hidup
orang-orang yang ada di balik kemudinya. Berjuang melawan kerasnya hidup,
berjuang melawan kemacetan ibu kota, dan mereka harus berjuang melawan keputusan
pemerintah.
Penghapusan bemo
dari angkutan umum membuat Zen dan kawan-kawan geram. “Kita gak berharap semua
warga dari kelas bawah sampai kelas atas untuk naik angkutan kita. Kita gak
berharap mereka menghina dan mencaci.” Kata Zen.
Marah? Tentu, kesal?
Pasti, menyerah? Tidak.
Para supir bemo
yang selama ini ikut meramaikan jalanan berusaha melakukan yang terbaik agar
tidak kehilangan pekerjaan mereka. “Kita usaha untuk terus berusaha agar bemo
menjadi angkutan yang aman. Kita usaha
agar bemo tidak lagi dianggap ‘sampah’ jalanan, “ kata Pak Zen.
Masalah
penghapusan bemo tidak hanya dirasakan para sopir banteng biru tersebut, namun
juga pecintanya. “Ini angkutan umum sudah lama. Sudah seperti sejarah. Naik
bemo itu murah banget. Jadi cocok untuk kantong yang tipis,” kata Nanik,
penumpang bemo.
Perlawanan kepada
pemerintah untu menggagalkan penghapusan bemo pun sudah dilakukan. “kita dulu
sempat datang ke Balai Kota untuk ngomong tentang pendapat kita. Tapi gak
digubris sama sekali sama pemerintah,” kata Zen.
Banyak alasan
yang mereka punya untuk mencoba mempertahankan bemo di Indonesia. “Bukan cuma
karena uang dan sejarah. Tapi boleh lihat bentuk angkutan ini. Unik kan!” Seru
Pak Zen.
keunikan yang
dimiliki si banteng biru mungkin terlihat biasa bagi warga Jakarta. Tapi
pesonanya terbukti mampu menarik perhatian para wisatawan yang berasal dari
luar negeri.
Jejeran foto
tercetak. Banteng biru mampu membuktikan bahwa dirinya masih layak untuk
membantu jalanan Jakarta menjadi lebih berwarna.
Diantara cacian
dan hinaan yang diterima tidak menjadi lampu merah bagi para pengemudinya terus
melanjutkan perjalanan. “Selama masyarakat bawah masih butuh, kita akan usaha
untuk menjaga bemo agar tetap eksis di Jakarta,” ungkap Pak Zen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar