Setelah 17 tahun reformasi, kebebasan wartawan tetap menjadi masalah yang
sering diperbincangkan. Tidak seperti pada masa Orde Baru, kebebasan wartawan
kali ini terancam bukan dari pemerintah lagi melainkan dari internal perusahaan
yaitu dari Bos Media.
“Bos media
hanya ingin mencapai keuntungan mereka sendiri. Kita tahu banyak media besar
tetapi memberi gaji wartawannya saja sangat kecil,” ujar Syafii Maarif saat
memberikan orasi budaya pada HUT ke-21 AJI di Gedung Pusat Perfilman Usmar
Ismail, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (4/9/2015) malam.
JAKARTA- Buya
mengatakan kondisi ini membuat wartawan menjadi hilang nyali, sehingga wartawan
menjadi tidak konsisten dalam menulis kasus-kasus yang terkait dengan
kepentingan publik. Suatu saat wartawan menjadi berani menjaga independensi
media, tetapi di lain situasi wartawan menjadi takut karena berita tersebut ada
kaitannya dengan pemilik media. “Idealisme harus dibawa sampai mati, tanam!
Wartawan jangan jadi musiman!” kata Buya.
Dengan
kondisi seperti ini, sangat sulit kita berharap munculnya wartawan yang
bernyali rajawali. Menurut Buya, Indonesia membutuhkan wartawan petarung yang berani untuk berkonsisten dan memiliki independennsi
dalam menyajikan berita yang sesuai dengan fakta. “Kita perlu orang-orang
seperti Udin, Mochtar Lubis. Saya berharap dari AJI akan muncul
wartawan-wartawan sekaliber mereka ini,” harap Buya Syafii
Meskipun
demikian, Buya berharap kondisi ini tidak menjadi hambatan bagi wartawan-wartawan
muda yang memiliki idealisme tinggi. “Kita punya anak-anak muda yang peduli
pada kebebasan ini, walau tidak banyak. Namun jika mereka bertahan, kita masih
punya harapan,” ujar Buya.
Hal
yang sama juga disampaikan oleh Ging Ginanjar. Oleh sebab itu Ging selaku Dewan
Juri Udin Award 2015 tidak bisa memberikan penghargaan Udin Award tahun ini.
Dewan juri mengatakan bahwa belum ada yang pantas dan layak menerimanya.
“Komunitas pers kian cenderung berkompromi dan tidak melawan pembungkaman
kemerdekaan pers,” kata anggota Dewan Juri Udin Award 2015, Ging Ginanjar, di
gedung perfilman Usmar Ismail.
Akibat minimnya
jumlah wartawan yang ideal ditambah lagi ancaman dari bos media, maka jumlah
berita yang berkualitas pun semakin sedikit. Oleh sebab itu, ketua AJI (Aliansi
Jurnalisme Independen), Suwarjono menghimbau masyarakat untuk lebih cerdas
memilih media. “Kita sebagai masyarakat harus paham mana informasi yang bermutu
dan tidak, media sekarang ini melakukan segala cara, yang penting beritanya
disukai pembaca. Sekarang ini mereka hanya sekadar mengejar traffic, oplah,
rating dan lain-lain,” kata Suwarjono dalam pembukaan acara HUT ke-21 AJI.
Meskipun masih
ada masalah dalam kebebasan jurnalistik, anggota Dewan Pers Nezar Patria
mengatakan kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa lalu. Pendapat
Nezar didasarkan oleh jumlah laporan yang semakin sedikit, dan tingkat
penyelesaian perkara yang lebih cepat terselesaikan. “Kebebasan pers saat ini
masih terbilang sehat, ditambah lagi masukan-masukan dewan pers terkait masalah
sengketa pers lebih didengar oleh pihak yang bersengketa,” ujar Nezar Patria
seusai menghadiri HUT AJI ke-21.
Apa yang diucapkan Nezar senada dengan data
Dewan Pers yang terhitung selama 2014, tercatat 40 kasus kekerasan yang
merupakan ancaman bagi kebebasan pers. Sedangkan tahun 2015, tercatat kasus
menurun menjadi 37 kasus kekerasan. Sebelas dari 37 kasus
kekerasan ini dilakukan oleh pihak polisi, enam kasus dilakukan orang tak dikenal,
empat kasus dilakukan satuan pengamanan atau keamanan, empat kasus dilakukan
massa, dan lainnya oleh berbagai macam profesi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar