Independensi
Pers Indonesia di Pertanyakan
Oleh : M E L L Y S A
Kebebasan Pers
merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat di negara demokrasi seperti
Indonesia. Namun, praktek kebebasan pers
saat ini seringkali diintervensi oleh berbagai pihak, terutama pemilik
media. Independensi pers menjadi
pertanyaan karena produk jurnalistik yang dipublikasikan oleh beberapa media
cenderung condong ke pihak tertentu.
JAKARTA, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada
perayaan HUT ke-21 (4/9) mengemukakan bahwa praktek media abal-abal saat ini
sangat marak terjadi, ditambah lagi dengan isu profesionalisme pers.
“Saat ini kebebasan pers dibonceng oleh orang-orang
yang memanfaatkan media untuk kepentingan pribadi. Inilah yang muncul dalam bentuk media
abal-abal,” kata Suwarjono selaku Ketua AJI.
Intervensi ditandai dengan sikap pemodal media yang
menggunakan media yang dimilikinya untuk kepentingan politik.
“Ini yang membuat media tertentu menjadi partisan
dalam politik,” ungkap Suwarjono yang ditemui selepas malam resepsi HUT ke-21
AJI pada (4/9).
Melihat pemberitaan beberapa media, terutama
televisi pada masa Pilpres 2014, masyarakat semakin mempertanyakan kredibilitas
pers. Hal ini terbukti dari banyaknya
laporan yang diterima oleh Dewan Pers.
“Selama masa kampanye hingga Pilpres 2014 kami
menerima banyak complain dari masyarakat mengenai pelanggaran etika
jurnalistik, antara lain berita yang memihak dan tidak cover both side. Kami menegur keras, bahkan Dewan Pers juga
sempat mengeluarkan putusan bahwa beberapa media terbukti melanggar kode etik,”
ucap Nezar Patria salah satu anggota Dewan Pers.
Menurut Nezar peraturan Undang-Undang adalah salah
satu instrument kuat yang dapat menjaga independensi pers. Namun, semua ini dikembalikan lagi kepada
pribadi wartawan masing-masing.
“Kalo hanya dibuat kesepakatan kerja, itu akan
seperti utopia saja, mustahil. Tidak
akan efektif. Sebenarnya sudah ada di
Undang Undang Pers pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa siapapun yang
menghalangi dan menghambat pelaksanaan kebebasan pers akan dikenakan sanksi
pidana,” ungkap alumnus filsafat UGM ini.
Sampai saat ini Dewan Pers belum menemukan pengaduan
dari wartawan mengenai intervensi oleh pemilik media. Kebanyakan laporan datang dari
masyarakat.
“Sejauh ini kami belum menemukan pengaduan oleh
wartawan terkait intervensi oleh pemilik media itu sendiri. Entah mereka sungkan melawan bosnya, takut
atau apa. Banyak laporan justru datang dari masyarakat yang melek terhadap
kondisi ini,” lanjut Nezar.
Nezar menganalogikan media sebagai panggung untuk
masyarakat berbicara dan mengeluarkan aspirasinya. Panggung ini dimiliki oleh konglomerat
tertentu, namun panggung ini bukan panggung yang berarti tanpa wartawan sebagai
pengisi acara.
“Sebagai pengisi acara di panggung, pers harus
menampilkan segala sesuatunya secara factual dan menarik. Mereka juga harus mempertahankan
penampilannya agar panggung ini tetap ramai.
Dengan kata lain, agar mereka tidak ditinggalkan oleh audiens, wartawan
harus memberitakan sesuai fakta, sehingga media mereka masih bisa terus
dipercaya dan tetap kredibel di mata audiens,” kata Nezar yang juga merupakan
salah satu aktivis tahun1998.
Pimpinan Redaksi Tempo, Bambang Harymurti menyatakan
bahwa wartawan tidak boleh cengeng, mereka harus memiliki prinsip kuat dalam
mempertahankan independensi mereka.
“Wartawan sudah dipersenjatai dengan UU Pers dan
Kode Etik Jurnalistik. Kedua instrument
itu bisa menangkal praktek intervensi dari bos media,bila itu memang
terjadi. Jadi kenapa harus takut,” ujar
Bambang lewat telepon (2/10).
Bambang juga menyatakan bahwa wartawan itu profesi
yang memiliki kode etik, bila ia melanggar kode etik artinya wartawan tersebut
tidak professional. Masalah independensi
itu adalah soal pribadi wartawan dan profesionalisme wartawan yang
bersangkutan.
“Saya juga gak bisa menyalahkan pemilik media 100
persen. Kenapa wartawannya tidak berani
melawan? Ia bahkan bisa memenjarakan orang yang mengintervensi pekerjaannya
selama 2 tahun lho, kalo ia berani melaporkan,” ungkap pria lulusan Harvard
University ini.
Dalam rangka mengatasi masalah ini, Nezar
mengungkapkan bahwa setiap wartawan harus paham medan industri pers Indonesia,
karakter serta kecendrungan dan sikap negative yang mungkin muncul dalam
kondisi ini.
“Wartawan itu harus memiliki mindset sebagai
wartawan yang independen. Mereka harus
menganggap bahwa mereka adalah asset mahal yang paling berharga dalam industry
media sehingga mereka harus berintegritas dan professional dalam pekerjaannya,
sehingga audience akan respect terhadap mereka.
Semakin well-respected, wartawan itu akan semakin mahal, nah kalo mau
menjadi mahal ya pertahankanlah independensi dan ‘iman’ kewartawanannya” tutur
Nezar yang juga pembuat film documenter ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar