25 Oktober 2015

Independensi Pers Indonesia di Pertanyakan
Oleh : M E L L Y S A 

Kebebasan Pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat di negara demokrasi seperti Indonesia.  Namun, praktek kebebasan pers saat ini seringkali diintervensi oleh berbagai pihak, terutama pemilik media.  Independensi pers menjadi pertanyaan karena produk jurnalistik yang dipublikasikan oleh beberapa media cenderung condong ke pihak tertentu. 

JAKARTA, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada perayaan HUT ke-21 (4/9) mengemukakan bahwa praktek media abal-abal saat ini sangat marak terjadi, ditambah lagi dengan isu profesionalisme pers.    

“Saat ini kebebasan pers dibonceng oleh orang-orang yang memanfaatkan media untuk kepentingan pribadi.  Inilah yang muncul dalam bentuk media abal-abal,” kata Suwarjono selaku Ketua AJI. 
Intervensi ditandai dengan sikap pemodal media yang menggunakan media yang dimilikinya untuk kepentingan politik. 

“Ini yang membuat media tertentu menjadi partisan dalam politik,” ungkap Suwarjono yang ditemui selepas malam resepsi HUT ke-21 AJI pada (4/9). 

Melihat pemberitaan beberapa media, terutama televisi pada masa Pilpres 2014, masyarakat semakin mempertanyakan kredibilitas pers.  Hal ini terbukti dari banyaknya laporan yang diterima oleh Dewan Pers. 

“Selama masa kampanye hingga Pilpres 2014 kami menerima banyak complain dari masyarakat mengenai pelanggaran etika jurnalistik, antara lain berita yang memihak dan tidak cover both side.  Kami menegur keras, bahkan Dewan Pers juga sempat mengeluarkan putusan bahwa beberapa media terbukti melanggar kode etik,” ucap Nezar Patria salah satu anggota Dewan Pers. 

Menurut Nezar peraturan Undang-Undang adalah salah satu instrument kuat yang dapat menjaga independensi pers.  Namun, semua ini dikembalikan lagi kepada pribadi wartawan masing-masing. 

“Kalo hanya dibuat kesepakatan kerja, itu akan seperti utopia saja, mustahil.  Tidak akan efektif.  Sebenarnya sudah ada di Undang Undang Pers pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa siapapun yang menghalangi dan menghambat pelaksanaan kebebasan pers akan dikenakan sanksi pidana,” ungkap alumnus filsafat UGM ini. 

Sampai saat ini Dewan Pers belum menemukan pengaduan dari wartawan mengenai intervensi oleh pemilik media.  Kebanyakan laporan datang dari masyarakat. 

“Sejauh ini kami belum menemukan pengaduan oleh wartawan terkait intervensi oleh pemilik media itu sendiri.  Entah mereka sungkan melawan bosnya, takut atau apa. Banyak laporan justru datang dari masyarakat yang melek terhadap kondisi ini,” lanjut Nezar. 

Nezar menganalogikan media sebagai panggung untuk masyarakat berbicara dan mengeluarkan aspirasinya.  Panggung ini dimiliki oleh konglomerat tertentu, namun panggung ini bukan panggung yang berarti tanpa wartawan sebagai pengisi acara. 

“Sebagai pengisi acara di panggung, pers harus menampilkan segala sesuatunya secara factual dan menarik.  Mereka juga harus mempertahankan penampilannya agar panggung ini tetap ramai.  Dengan kata lain, agar mereka tidak ditinggalkan oleh audiens, wartawan harus memberitakan sesuai fakta, sehingga media mereka masih bisa terus dipercaya dan tetap kredibel di mata audiens,” kata Nezar yang juga merupakan salah satu aktivis tahun1998. 

Pimpinan Redaksi Tempo, Bambang Harymurti menyatakan bahwa wartawan tidak boleh cengeng, mereka harus memiliki prinsip kuat dalam mempertahankan independensi mereka. 
“Wartawan sudah dipersenjatai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.  Kedua instrument itu bisa menangkal praktek intervensi dari bos media,bila itu memang terjadi.  Jadi kenapa harus takut,” ujar Bambang lewat telepon (2/10). 

Bambang juga menyatakan bahwa wartawan itu profesi yang memiliki kode etik, bila ia melanggar kode etik artinya wartawan tersebut tidak professional.  Masalah independensi itu adalah soal pribadi wartawan dan profesionalisme wartawan yang bersangkutan. 

“Saya juga gak bisa menyalahkan pemilik media 100 persen.  Kenapa wartawannya tidak berani melawan? Ia bahkan bisa memenjarakan orang yang mengintervensi pekerjaannya selama 2 tahun lho, kalo ia berani melaporkan,” ungkap pria lulusan Harvard University ini. 

Dalam rangka mengatasi masalah ini, Nezar mengungkapkan bahwa setiap wartawan harus paham medan industri pers Indonesia, karakter serta kecendrungan dan sikap negative yang mungkin muncul dalam kondisi ini. 


“Wartawan itu harus memiliki mindset sebagai wartawan yang independen.  Mereka harus menganggap bahwa mereka adalah asset mahal yang paling berharga dalam industry media sehingga mereka harus berintegritas dan professional dalam pekerjaannya, sehingga audience akan respect terhadap mereka.  Semakin well-respected, wartawan itu akan semakin mahal, nah kalo mau menjadi mahal ya pertahankanlah independensi dan ‘iman’ kewartawanannya” tutur Nezar yang juga pembuat film documenter ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar